Pesawat

Kamis, 22 September 2011

JUANDA: BALADA GADIS KECIL DAN LELAKINYA

kurang lebih setahun yang lalu :
gadis kecil menatap lonjor beku besi penyekat
bukankah lonjor itu bicara pisah?
gadis kecil membuat hujan
dari kunang-kunang matanya
beberapa kaca penyekat ikut basah

lalu lalang laju penumpang
sayap-sayap keberangkatan

gadis kecil menatap sepatu-sepatu
diketuk-ketukkan
penanda akhir perjumpaan

gadis kecil menatap nanar parkiran
jemarinya basah
ia tak ingin lelakinya pergi

derit kereta jajaran koper-koper
bagasi penuh petugas sibuk
melintas pilot pramugari bersisian

gadis kecil memasangkan kedua bola matanya
lekat
sangat lekat

lelakinya melangkah abai
tak berpaling muka
tak ada luka
disorongkan tubuh gadisnya
ke dada
dan lelakinya pergi
begitu saja

gadis kecil menjatuhkan hujan diam-diam
kaca jendela berembun
sayap bermesin pergi bersama lelakinya

sby, 05102010

Senin, 25 Juli 2011

Sekawanan Kupu-Kupu Terbang : Memerangkap cinta, rasa dan fase-fasenya



Judul                : Kupukupu-Kupukupu Di Dalam Perutku
Pengarang       : Dadan Erlangga
Penerbit          : Self Publishing – http://www.nulisbuku.com  
Tebal               : 126 Halaman

Dadan Erlangga mungkin adalah seorang penulis yang menganggap bahwa cinta adalah pergumulan dialog sunyi. Setidaknya tiga belas cerita dari enam belas judul kumpulan cerita yang ditulisnya merupakan pergolakan batin yang dibidik dari sudut pandang orang pertama. Kumpulan cerita yang dikemas dengan cover berwarna hijau toska dengan simbol kupu-kupu berwarna merah muda gradasi-merah keunguan ini punya pergolakannya sendiri-sendiri. Bagaimana cinta berkembangbiak menjadi sekawanan kupu-kupu di dalam perut, menimbulkan beragam rasa.

Cinta menurut penulis mungkin merupakan sebuah fase sunyi. Seperti layaknya metamorfosa kupu-kupu yang membutuhkan kesunyian saat menjalani fase-fase perubahan dalam perjalanannya memahami suatu hubungan. Sesunyi ketokohan “aku”-tokoh, ataupun “saya”-tokoh yang dihadirkan lewat dialog-dialog batin kisahannya.

1.Kemasan

Sambil menikmati kelana “Kupukupu-Kupukupu Di Dalam Perutku” ingatan saya jatuh kepada sebuah kumpulan cerita yang lebih dulu saya miliki (dan tentu saja), lebih dulu diterbitkan. Sebuah karya dari Puthut EA, penulis yang berdomisili di Yogyakarta, berjudul “Kupu-Kupu Bersayap Gelap”[i].  

Kedua buku yang mengambil kupu-kupu sebagai metafora kisahan mereka, mempunyai sampul dengan tokoh sentral sama. Kupu-kupu. Bedanya, sampul “Kupu-Kupu Bersayap Gelap” mampu mendefinisikan lebih detail unsur judul, dibanding “Kupukupu-Kupukupu Di Dalam Perutku”. Tak ada unsur perut, atau mungkin kalau pemahaman ini terlalu mentah, tak ada penggambaran visualisasi pergolakan rasa yang ditimbulkan pada, sekawanan kupu-kupu yang tumbuh di perut. Di dalam sampul buku. 

Dapat dipahami dan diberikan salut bahwa ini semua adalah sebuah upaya “self publishing. Tangan kreatif yang bekerja dengan lebih sunyi dibanding “tangan-tangan” penerbitan. Hal-hal yang luput seperti proses editing yang kedodoran termasuk tanggungnya proses pemilahan sampul buku juga sangat wajar ditemui.

Dadan Erlangga, mungkin adalah “telur” Puthut EA. Menyebut gaya prosaik mereka yang sama -sama menonjolkan kedalaman perasaan dalam bernarasi menjadi salah satu faktornya. Namun apakah “Kupukupu-Kupukupu Di Dalam Perutku” merupakan embrio “Kupu-Kupu Bersayap Gelap”? Dibutuhkan lebih banyak wacana, dan kekayaan pengalaman untuk bisa dicapai Dadan Erlangga untuk menyejajarkan diri.

2.Isi

Menjelajah dunia “Semacam Cinta”, kita akan menemui sebuah perasaan kebingungan seseorang yang tidak bisa mendefinisikan karakter dirinya kembali, ketika berhadapan dengan orang yang disukai. Bagaimana kita menuruti kemauan seseorang yang kita nyaman bersamanya, meski terkadang kita juga bersungut dalam hati atas itu. Bagaimana cinta membuat kita merelakan kelelahan terbayar dengan sebuah deklarasi, “Akhirnya, kita saling menemu”. Bagaimana ketika kesendirian “aku” dan “kamu” menjadi “kita”.

Sepasang sayap kupu-kupu juga tidak segan berkelana menuju ruang-ruang kuliah dan mendapati sepasang mata-mata yang sebenarnya “biasa” namun menjadi “tak biasa”. “Cerita Pendek tentang Sepasang Mata”, mendapati bahwa cinta bukan hanya milik “–aku, -kamu, dan –kita”. Cinta juga bisa menjadi milik “–kamu dan –dia”, atau “–kamu dan –mereka”. Dan mungkin “aku” bukan lagi menjadi tokoh utama dalam kisah cinta itu.

Cinta mungkin tak selalu manis, maka “Another Seredipity Story” menghentikan kepak sayap kupu-kupu kepada sebuah kepahitan. Lagi-lagi ini karena “dia” menjadi tokoh utama, dan bukan “aku”. Bahwa menjadi “aku” kadang adalah sebuah kepahitan, apabila diperbandingkan dalam sebuah situasi cinta. “Aku”-tokoh menjadi figur yang menelan bulat-bulat postulat “hallo… saya harus menerima semuanya apa adanya”, termasuk ketika “aku”-tokoh bukanlah tokoh sentral cinta “kamu”-tokoh. Perpisahan dengan ucapan “terima kasih”.

Kadang cinta bukan bicara kepasifan, penerimaan. “Mengeja Pertanda” adalah soal kemuakan. Kemuakan menjadi. Memunculkan sikap, bahwa cinta mungkin berarti menjauh, memutuskan pergi meninggalkan keadaan. Tak kembali. Berakhir dengan kata “Titik.”, dan mungkin umpatan berisi kesimpulan bahwa “KAU SEORANG PENGECUT”. Yah… cinta mungkin adalah bisa berarti persoalan tentang “kau” dan bukan “aku”.

“That’s all” dan “Saat Jena Bertemu Joni” membuktikan bahwa kadangkala meski “cinta tidak memandang usia” namun ada saatnya bisa menjadi “cinta mempunyai batas waktu”. Bagaimana “aku”-tokoh dalam “That’s all” dan “Saat Jena Bertemu Joni” harus menghadapi krisis mengejar cinta dengan tenggat usia mereka. Bagaimana cinta harus bertemu dengan konsep, “kadang cinta saja tidak cukup”

Keenambelas cerita milik Dadan Erlangga mungkin merupakan peliharaannya yang disimpan, seperti layaknya memelihara sekawanan kupu-kupu di dalam perutnya. Mungkin juga tak.
Mungkin ada kalanya, membiarkan kupu-kupu lepas menjadi kisah yang lebih menarik daripada menyimpannya sendiri dalam pergolakan batin tokohnya. 

Mungkin...



[i] Kupu-Kupu Bersayap Gelap, (2006), Puthut EA, InsistPress : Yogyakarta

Butterfly - Jason Mraz


Taking a moment just imagining that i'm dancing with you
I'm your pole and all you're wearing is your shoes
You've got soul, you know what to do to turn me on until I write a song about you
And you have your own engaging style, you've got the knack to vivify
And you make my slacks a little tight, you may unfasten them if you like
That's if you crash and spend the night

But you don't bode, you don't pay, you got everything you need
Except for me, sister you've got it all
You make the call to make my day
In your message say my name
Your talk is all the talk, sister you've got it all

Curl your upper lip up and let me look around
Ride your tongue along your bottom lip and bite down
And bend your back and ask your hips if I can touch
Well they're the perfect jumping up point
Getting closer to your butterfly

You float on by
Oh kiss me with your eyelashes tonight
Or Eskimo your nose real close to mine
And let's mood the lights and finally make it right

But you don't bode and you don't pay, you got everything you need
Except for me, sister you've got it all
You make the call to make my day
In your message say my name
Your talk is all the talk, sister you've got it all

You've got it all, you've got it all, you've got it all
You've got it all, you've got it all, you've got it all

Mmm mmm And all I really need to see
You pull your knee socks up
Let me feel you upside down, slide in, slide out
Slide over here, climb into my mouth now

Butterfly
Well you landed on my mind
Actually landed on my ear but you crawled inside
And now I see you perfectly behind closed eyes
I wanna fly with you
But I don't want to lie to you

But I can't recall a better day
Sun coming to shine on the occasion
You're sophisticated, lady, you've got it all
You've got it all to make my day
In your message say my name
Your talk is all the talk, sister you've got it all

You know that fortune favors the brave
But let me get paid while I make you breakfast
The rest is up to you, who makes the call
I never forget a face, 'cept maybe my own
I have my days, let's face the fact here
It's you who's got it all

I can't recall a better day
Sun coming to shine on the occasion
You're an open-minded lady, you've got it all

You've got it all, you've got it all, you've got it all
You've got it all, you've got it all, you've got it all
You've got it all, you've got it all, you've got it all
You've got it all, you've got it all, you've got it all

Butterfly, baby, you've got it all

Rabu, 13 Juli 2011

Terbang dengan Kebebasan : Kebenaran menurut azas pemversian

Kalau saya bisa memutar waktu ingin saya katakan.
“Pak, saya benar-benar tidak bersalah”

Invictus (which is Latin, meaning ‘unconquered’)*
Out of the night that covers me, 
Black as the pit from pole to pole, 
I thank whatever gods may be 
For my unconquerable soul.

In the fell clutch of circumstance 
I have not winced nor cried aloud. 
Under the bludgeonings of chance 
My head is bloody, but unbowed.

Beyond this place of wrath and tears 
Looms but the Horror of the shade, 
And yet the menace of the years 
Finds and shall find me unafraid.

It matters not how strait the gate, 
How charged with punishments the scroll,
I am the master of my fate: 
I am the captain of my soul.

*(Ditulis oleh William Ernest Henley. Ketika berada dalam penjara, Nelson Mandela membaca puisi ini, dan puisi inilah yang terus mendorongnya untuk tetap maju dan memimpin bangsanya suatu hari kelak.)


Malam ini, saya disuguhi acara di sebuah stasiun televisi yang membahas soal “Korban Salah Tangkap”. Dari tayangan tersebut, saya pun menelusur via Google, dari saringan awal input keyword dari kata Korban Salah Tangkap mencapai Sekitar 471,000 hasil (0.09 detik)[i], boleh saja direduksi bahwa tingkat kevalidan data dari Google tersebut secara ekstrim menjadi 5% saja, toh angka tersebut masih masih fantastik jumlahnya 23.550 kasus. Saya mengakui mungkin itu merupakan suatu cara penelusuran bodoh tentang fakta tersebut dan dari acuan media web.

Benar Vs Salah, Mengadili Vs Pengadilan.


Saya pernah membaca novel karangan Luis Sepulveda, yang judul penerjemahannya “Pak Tua yang Membaca Kisah Cinta”. Di suatu fragmen babnya ada sebuah kisah, ditemukan sesosok mayat dengan penuh luka cabikan. Walikota di sisi ini menyalahkan macan kumbang sebagai biang kerok dari kematian, Napoleon Salinas. Namun atas pengamatan Antonio Jose Bolivar Proano, macan kumbang itu tidak mungkin melakukan tindakan tersebut  tanpa terpancing sebelumnya.

Saya juga pernah menuliskan resensi singkat saya sebuah buku berjudul “The Outsider” karangan Albert Camus, yang diterjemahkan oleh Ermelinda, terbitan Liris. Saya menarik topik “The Outsider” dengan opini saya tentang menghakimi dan mengadili seseorang karena sesuatu. Sesuatu itu adalah sebuah konsep “Benar atau salah”, bagaimana indikatornya.

The Outsider (Sang Pemberontak) : Kepatutan Moral
http://resensi-nisa.blogspot.com/2010/06/outsider-sang-pemberontak-kepatutan.html
Penulis : Albert Camus
Penerjemah : Ermelinda
Penerbit : Liris
Ukuran : 13 x 19 cm
ISBN : 978-602-95978-8-2
Tebal : 164 halaman

Pertama menemukan buku ini sewaktu jalan-jalan di sebuah rak toko buku besar. Jadi tertarik, itu benar. Saya pernah mendengar nama Camus waktu nonton film malahan. Saya lupa judulnya, yang jelas tokoh pria di film tersebut sangat memuja tokoh Camus sampai-sampai ia memakai nama Camus untuk menyewa sebuah kamar hotel yang dipakai si tokoh pria untuk menginap bersama kekasihnya. Padahal sepasang kekasih itu masih di bawah umur dan belum menikah. Intinya pada saat itu mereka sedang dalam keadaan kabur dan aku pikir ini ada kaitannya dengan bacaan si tokoh pria. Dari segi judul, menarik Sang Pemberontak hehehehe... tak ada yang tahu bahwa dalam diri saya sebenarnya tokoh polos yang ingin keluar sangkar.


Bagian pertama saya diajak mengenal karakter tokoh Mersault yang "nrimo", datar dalam menunjukkan ekspresi, boleh dikatakan ia adalah orang yang kalau orang jawa bilang "opo onone" alias apa adanya. Maka ketika dihadapkan pada situasi bahwa ia lebih memilih panti wreda sebagai tempat masa tua ibunya. Penulis juga memaparkan apa adanya bahwa kondisi keuanganya tidak mencukupi, bahwa ia lebih sering tidak enak membiarkan ibunya kesepian. Kemudian ketika Mersault harus menghadapi kenyataan bahwa ia harus kehilangan ibunya, ia pun dengan sangat jelas menyatakan bahwa sama sekali tidak merasa bersedih. Saya cukup memahami kehilangan bagi setiap orang sangat berbeda-beda takarannya, mungkin dalam contoh kasus Mersault ia lebih merasa kehilangan Marrie, kekasihnya, dibanding saat kehilangan ibunya. Betapa norma dan ketetapan moral etika sering kali membentur-benturkan kepantasan bahwa kehilangan seorang ibu seharusnya lebih menyakitkan dan mampu menimbulkan kesedihan yang sangat dibanding kehilangan seorang kekasih.


"... Bagaimanapun kenangan tentang Marie memiliki arti sesuatu bagiku. Aku tak tertarik lagi padanya jika ia sudah meninggal."


Intinya adalah penulis mencoba menghadirkan bahwa Mersault adalah orang yang sangat apa adanya, ia tidak perlu berakting seolah-olah ia merasa kehilangan dengan sosok ibu, disebutkan bahwa ia sama sekali tidak menangis pada saat upacara kematian ibunya.


Namun, apa yang terjadi ketika faktor kepatutan moral dan etika itu dibenturkan dengan sikap apa adanya individu? Dan bukan tindakan pembunuhan dan efek pembunuhan itu yang membuat Mersault harus menyerahkan dirinya dihadapan hunusan guillotine. Bukan, bukan karena itu. Ia harus menghadapi masa penghabisannya karena dakwaan kepatutan moral dan etika dalam merespon kehilangan.


Paradoks yang sama adalah ketika penulis menghadirkan sebuah situasi dimana arti anjing kudisan dan penuh borok Salamano sama berartinya dengan kehadiran istrinya, atau ketika Mersault mempunyai hubungan pertemanan dengan Raymond (seorang mucikari) dan ia ditempatkan dalam situasi ia membela Raymond saat Mersault harus membunuh orang Arab yang menguntit keberadaan Raymond. Dalam tataran pranata sosial, masyarakat meyakini bahwa manusia dalam hal ini istri Salamano, lebih berharga daripada anjing Salamano. Dan bahwa sebuah kepatutan yang lain, bahwa seseorang dari kalangan baik-baik tentu tidak akan menjalin hubungan pertemanan dengan seorang mucikari. Anggapan bahwa mucikari adalah penyakit masyarakat.


Lepas dari itu saya jadi mengingat pengalaman saya beberapa waktu dulu, suatu saat saya sedang janjian dengan seorang kawan di sebuah toko. Entah sengaja atau tidak pada saat itu kawan saya melakukan tindakan yang dianggap menyalahi aturan. Karena saat itu saya bersama dengan dia, maka saya pun dianggap komplotan. Cukup sangat membuat malu sebenarnya karena sampai melibatkan kepolisian. Saya terbukti tidak bersalah, tapi sebuah tindakan kepatutan masyarakat ketika saya membela teman saya yang dicap "bersalah" membuat saya juga dicap "bersalah". Sebegitukah nilai yang dijunjung manusia itu? Sehingga membuat orang yang "didakwa" itu me mang dihadapkan pada situasi dia tidak bisa membela diri, dipersalahkan, dan dilabel, kadang analogi dakwaan pun dipaksakan dikait-kaitkan?


Saya sempat memikirkan menjadi orang "putih" itu memang susah...

**
Apakah yang salah, kemudian harus diadili?

Mungkin, bagi versi Walikota dalam novel Sepulveda itu, macan kumbang adalah di pihak yang salah. Maka ia harus diadili dengan sebutan “bersalah”. Saya yang sewaktu itu mengantarkan teman saya berbelanja, meskipun saya tidak bersalah saya tetap saja “dipaksa” menenteng kertas bertulis “SAYA PELAKU KRIMINIL”. Difoto, dan foto saya disebarkan di pusat perbelanjaan itu. Atau bagi masyarakat dan juri pengadilan, Mersault, yang membela diri, dengan membunuh seorang penguntit, yang membuntuti Raymond, temannya yang profesinya mucikari adalah pihak yang salah.

Maka salah dan benar kemudian berakhir dalam skenario pengadilan. Kemudiain benar dan salah adalah berbicara soal bahasa pemversian. Kebenaran siapa yang patut dibela menjadi hal yang tidak bisa dimiliki oleh setiap orang. Keadilan menjadi suatu konsep yang sangat jauh direngkuh. Lalu ketika orang yang tidak bersalah dijebloskan ke penjara atau menjalani sebuah hukuman – apapun bentuknya, siapapun orangnya, mestinya mereka wajib bertanggung jawab.

Siapa yang harus bertanggungjawab atas penahanan Dian dan Rendy ditahan karena kasus penyelundupan iPad dan hal tersebut  berdampak  pada karier mereka. Bagaimana dengan nasib Prita terdakwa pelaku pencemaran nama baik atas sebuah instansi Rumah Sakit Swasta. Anak Prita terancam tidak memperoleh pengasuhan ibunya saat, sang ibu bila nantinya dipenjara.  Atau mungkin dengan Imam Hambali, terdakwa pembunuhan Mr XX yang dikira Asrori dan ternyata jenazah tersebut bernama bernama Fauzin Suyanto, dan jenazah tersebut diakui oleh pelaku Ferry Idham Henyanshah. Imam Hambali alias Kemat belum juga mendapatkan rehabilitasi atas kesalahan vonis, dan siapa yang harus menanggung kerugian biaya pengadilan yang saat ini diutang oleh Kemat? Segala hartanya habis. Ketika ditanya apakah ia akan menuntut? Kemat tidak menjawab apa-apa selain mata yang berkaca-kaca. [ii]

Mahatma Gandhi berkata:
“Ketika kita menjebloskan seorang yang tidak bersalah, sesungguhnya itu merupakan suatu bent uk kejahatan”

"Fly Away"

[Nelly Talking]
Free City
This is a shout out to every young brother ya know
That's doin his thing right now
Keep ya head up...
He’s walkin' the yard wishin' he had wings
Ya know so he could fly up out that joint
Man

[Intro]
If I could, fly away
Ooo and I wouldn’t come back no more
I, I’d turn around,
Just to see you for the last time,
See, now I know
Hey, that it won’t be easy
I done fought in a battle, and I done made it this far
I gotta few more feet, but its still the longest yard

[Verse 1]
Man, it’s the longest yard I ever had to get in my life
And see my life ain’t right, if my wife don’t write
My niggas cant eat if the fish don’t bite
My raise the gross sales, like Mike and Nike
Now big brother almighty
I keep a gamma ray, i’ma G-5 G
Take a G-5 jeep, G-5 deep
Too some of their bare feet
And that jeep don’t speak
Listen mayne they lock it down round herre
See body bag and gag and your found round herre
This as serious as it sound round herre
The guards guard the ground, 4 pounds round herre
And they ain’t playin, they’re just lettin you know
That anything they want to happen, nigga happen real slow
Get the word from upstairs, put you in that hole
I cant take it, I’m just ready to go

[Chorus]
If I could, fly away
Ooo and I wouldn’t come back no more
I, I’d turn around,
Just to see you for the last time,
See, now I know
Hey, that it won’t be easy
I done fought in a battle, and I done made it this far
I gotta few more feet, but its still the longest yard
Yeah yeah, its still the longest yard
Uh uh, its still the longest yard
Um um, its still the longest yard
I done fought in a battle and I done made it this far

[Verse 2]
I’m in my cell 20 hours a day
And doin push-ups ever hour a day
Cause im tryin to keep the cowards away
Thats why im markin off the calendar days
Tryin to get it out of the way
And im just tryin to keep a piece of mine
And im gon shame a motherfucker with a piece of mine
Cause he tryin to take a piece of mine
So im gon slice his ass a piece at a time
But now that they close the door
Lock me in, in a cell 30 deep but its built for 10
Tell me what kind of world they got you in
With the barbed wire fences, box u in
From now, til they turn off the lights
I’ma read anything in sight
Its kinda hard tryin to read at night
But I’ma change my life
And hope another brother take this flight

[Chorus]

[Verse 3]
(Oohh no) I gotta make it out this place some how
(Oohh no) Man I really believe that I done turned it around
(Oohh no) You see, all I need is that second chance to show,
since incarceration, my obligation of rehabilitation
(Oohh no) They can punch me high, and they can kick me low
(Oohh no) Spit on me, it's gonna take more than that for them to break my soul
(Oohh no) Man its hard for people to understand what its like to be,
gated, incarcerated , I just cant take it, but I’ma make it man to see better days

[Chorus]

[Hook]
If I could fly away,
If I could I turn around,
If I could fly away


[ii] Reportase Mata Najwa, Metro TV, tanggal 14 Juli 2011 edisi “Korban Salah Tangkap”

Senin, 11 Juli 2011

Terbang, Jarak, Gaya Tarik, Besaran Massa dan Teori Kedekatan

Ini adalah soal keribetan yang terlalu berbelit untuk disampaikan. Saya tahu. Saya pun berusaha menjadikan alurnya teratur dan mudah dipahami oleh orang lain.

(-) Pernahkah berjanji akan datang ke suatu tempat?
(+) Ada yang menjawab “iya”. Ada yang menjawab “tidak”.

(-) Pernahkah berjanji akan kembali datang ke suatu tempat yang pernah kau kunjungi?
(+) Jawabannya akan beragam, kau bisa saja langsung mengatakan “iya”. Karena yakin. Kau bisa saja mengatakan “tidak” bila sangat tidak yakin. Atau, mungkin kau akan memilih pilihan yang ketiga ketika kau mengatakan “iya” namun hatimu bilang “tidak”.

Di saat itu mungkin kau merasa bahwa kau harus bersikap sopan terhadap orang yang telah menerimamu ke tempat tersebut.

Bagaimana bila kita menjadi tuan rumah yang menerima kehadiran seseorang.

(-) Pernahkah menuntut janji orang lain untuk datang ke suatu tempat?
(+) Bisa jadi kita menjawab “iya” bisa jadi “tidak”.

(-) Pernahkah menuntut janji orang untuk kembali mengunjungi tempat kita?
(+) Jawabannya akan beragam, kita bisa saja langsung mengatakan “iya”. Karena yakin. Kita bisa saja mengatakan “tidak” bila sangat tidak yakin. Atau, mungkin kita akan memilih pilihan yang ketiga ketika kita mengatakan “iya” namun hati kita bilang “tidak”.

Di saat itu (lagi-lagi) kita dirikuhkan basa-basi, karena kita harus sopan kepada orang yang telah bersusah payah menempuh perjalanan sekian jauhnya, melewatkan waktunya, dengan segala resiko kelelahan (dan mungkin bahaya), untuk menemui kita. Hanya kita?

**
Saya belajar mempercayai sebuah teori psikologi yang saya kenal sewaktu saya kuliah. Teori Medan nama pencetusnya Kurt Lewin, dimana kepribadian merupakan sebuah keterkaitan hubungan antar bagian, atau antar bagian dengan keseluruhan.  (Kalau di bagian ini mulai terdapat kebingungan, maka cukup wajar.

Saya sederhanakan dengan bentuk contoh cerita (nantinya sambil anda amati saja gambar skema teori medan ala si Lewin itu)

Misal : A bertetangga dengan B, bagian-bagian hidup dalam A mendekati bagian-bagian hidup B. A bisa saja nantinya punya daya tarik kepada B, bila lingkungan di luar hubungan A dan B, tidak punya daya tarik yang lebih besar, daripada daya tarik A dan B.

Sehingga, A dan B bisa dekat, bahkan mungkin satu sama lain bisa saling lekat, bila di antara mereka tidak ada daya saling tolak.

Relevansinya dengan pertanyaan saya di awal tadi apa? Sungguh teori yang diterapkan di dunia Fisika dan Kemagnetan ini diterapkan juga oleh orang-orang Psikologi.

Long Distance Relationship (LDR)

Bisa jadi akan jadi Long Distance Relationshi(t), jika kamu tak punya daya elemen bagian daya saling tarik yang besar dengan orang tersebut. Ini berkaitan dengan jarak.

Berkaitan dengan kedekatan dan jarak, ada orang yang berusaha merubah pola pandangnya agar bisa tertarik atau mencoba mendekatkan diri pada orang lain. Ini berkaitan dengan dorongan. Jadi, misal A dulunya tidak begitu suka sama B karena B punya bagian kepribadian yang tidak disukai A. A akhirnya suka sama B karena meski B punya kepribadian yang tidak disukai, tapi ada bagian lain yang A sukai. Dan mungkin di bagian itu daya tarik B jadi lebih kuat bagi A untuk menjadi suka sama B.

**

Mari menutup keruwetan ini dengan keruwetan yang lain, untuk seseorang yang menjanjikan saya sebuah kedatangan. Semoga itu bukan abal-abal. Karena lambat laun pupus juga daya tarik saya bila jarak antara kita tidak kau penuhi.

Ah… saya lupa, saya masih ingat jelas lagunya Vertical Horizon _ The Best I’ve Ever Had.

BEST I EVER HAD (GREY SKY MORNING)
By: Vertical Horizon


CHORUS 1:
So you sailed away
Into a grey sky morning
Now I'm here to stay
Love can be so boring
Nothing's quite the same now
I just say your name now

CHORUS 2:
But it's not so bad
You're only the best I've ever had
You don't want me back
You're just the best I've ever had

So you stole my world
Now I'm just a phony
Remembering the girl
Leaves me down and lonely
Send it in a letter
Make yourself feel better

Repeat CHORUS 2
And it may take some time to
Patch me up inside
But I can't take it so I
Run away and hide
And I may find in time that
You were always right
You're always right

Repeat CHORUS 1
What was it you wanted
Could it be I'm haunted
But it's not so bad
You're only the best I ever had
I don't want you back
You're just the best I ever had
The best I ever had
The best I ever

Kamis, 30 Juni 2011

Firasat, Bandara, dan Kepergian


katakan sesuatu untuk menahanku (udah gak bisa... bodoh!, udah melerr ingus gue)
dalam diam kau membunuh, langkahmu menjauh (emang mau gw nangis trus pesawatmu jatuh??)
mengapa kau tak menahan langkahku dibandara ini (emang mau gw g ngerelain trus... kenapa2 di atas??)
{Ribas-"Bandara" a monolog Drama Quen)

Sebenarnya itu status lelucon saya ketika saya posting di Facebook saya. Status ini pun sebenarnya rekonstruksi nyata kejadian beberapa tahun silam. Ceritanya, saya sedang mengantarkan kepulangan “seseorang” pulang ke asalnya. Sepertinya memang saya sendiri selalu dilanda ketakutan tersendiri kalau mengantar tamu atau orang yang saya anggap punya kedekatan dengan saya.

Kalau ditanya mengapa, ini ada kaitannya dengan faktor X. Saya menyebutnya intuisi. Ada yang menyebutnya kebetulan, ada juga yang menamai dengan firasat. Contoh nyata adalah ketika saya masih SD, saya seringkali jadi korban bullying teman-teman sekolah saya, mungkin ini ada faktor saya bertubuh kecil, dan menjadi murid termuda di antara teman-teman yang lain. Ada beberapa orang yang (mungkin kebetulan atau tidak) mendapat balasan atas perlakuan buruknya pada saya.

Saat saya kelas 4 ada sekelompok anak yang mencegat di jalan dan meminta paksa barang dan uang saya sepulang sekolah. Waktu itu memang saya sedang  pulang sendirian, setelah berhasil merampas jam tangan, uang saku serta sepeda saya, lelaki tiga anak seusia mungkin SMP karena saya masih melihat celana biru yang masih dipakai, tapi tanpa memakai seragam putih. Setelah mempreteli barang-barang saya mereka bertiga ngeloyor pergi, dan boleh percaya atau tidak, sebuah sepeda motor melintas, menyerempet salah satu anak itu. Anak itu mungkin pimpinan dari kelompok itu dan dia sedang memakai sepeda saya. Ia terjatuh. Melihat kesempatan itu saya langsung menghampiri orang yang menyerempet perampas barang-barang saya.

“Ini udah ngompas speda saya, pak” tunjuk saya sambil ngikik karena pengompas saya sempoyongan jatuh dari sepeda.Yah, mungkin akhir cerita itu, kita bisa menebak sendiri bukan?

Berkaitan dengan intuisi saya, saya akui juga sebenarnya sangat lekat pada keseharian. Terus terang, saya bukan anak yang suka belajar. Saya serius. Namun sangat mengherankan bahwa saya mencapai pendidikan yah dengan prestasi tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain. Rahasianya, saya selalu tahu areal-areal atau bahan-bahan apa saja yang diujikan. Yaa… tentunya saya harus menghapal cara dan latihan. Itu sebabnya saya tidak begitu pandai di mata pelajaran menghitung.

Intuisi saya juga peka terhadap hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Bisa berupa tanda-tanda saja,, pada orang-orang terdekat atau yang saya anggap dekat dengan saya. Contohnya peraturan utama ketika jadi orang terdekat saya adalah apapun keadaannya “turuti saja apa kata saya”. Termasuk bila suatu ketika kalian berkunjung ke kota saya, dan menginap beberapa hari. Bila saya katakan pulang hari A, maka di hari itulah anda pulang. Entah apa yang terjadi, biasanya orang yang tetap ngotot pulang di hari yang saya perkirakan ada saja halangan-halangan yang terjadi. Padahal saya tidak pernah meniatkan mencelakai orang yang saya kasihi atau dekat dengan saya, bukan? Beberapa kali saudara yang datang, namun pulang dengan sedikit  rintangan. Kehabisan tiket, ketinggalan kereta/bis, bangun kesiangan sampai pernah kecelakaan.

Persoalannya adalah soal kerelaan. Dan saya adalah tipe orang yang tidak mudah merelakan seseorang untuk pergi. Yah kepergian adalah sesuatu yang teramat berat untuk saya hadapi.

Sekitar dua tahun yang lalu, intuisi itu saya berhasil patahkan.Saya berusaha menuruti kehendak “seseorang” yang akan pulang, meski itu berat. Entah bagaimana usaha saya, saya berusaha tidak menangis sampai ia berangkat. Saya berhasil, meskipun toh akhirnya saya menarik ujung baju bunda saya, karena akhirnya saya menangis pula di mobil setelah ia benar-benar pergi.

Jawabannya mungkin satu, saya tak mau terjadi apa-apa terhadap dirinya karena firasat saya.

Ketika saya bercerita pada salah satu teman saya, rasanya lagu Ribas- Bandara paling tepat menggambarkan momen tersebut. Jadi duh.. maaf untuk seseorang yang merasa (mungkin) sikap saya dingin. Sikap saya ini semata-mata karena rasa percaya saya terhadap intuisi saya.

sepi aku menyendiri
diantara keramaian
bersamamu menemani
dipenghujung hari

mgkn hati tak ingin pergi
bila kau yang menahan diri
tak terdiam,tak menbisu
lepas sudah aku meragu

jangan sampai hati
biarkan aku pergi
tersendat dan terlewati
masa yang terindah disini

katakan sesuatu untuk menahanku
jangan diam kau membunuh
langkahmu menjauh

mengapa kau tak menahan ku pergi saat cinta terbang kau sampai hati
mangapa kau tak menahan langkahku di bandara ini

aku menyadari aku tak berarti
kau tak lagi sedih ku tinggal pergi di bandara ini

Senin, 27 Juni 2011

Saya, Buku, "Donna-Donna", Terbang, Cinta dan Patah Hati

"Buku punya salah, apa?"

Saya pandangi lekat jawaban pesan pendek dari salah seorang saudara ketika mereka tahu, buku-buku saya (lagi-lagi) dijual karena emosi sesaat. Saya sedikit menahan nafas ketika itu "dijual" bukan dimusnahkan atau dibakar seperti yang sudah-sudah. 

Saya dan buku. Entah mengapa, saya merasa buku lah yang menemui takdirnya sendiri kepada saya. Entah apakah takdir itu juga berarti kehancurannya ketika ia di tangan saya. Yang saya tahu, buku dan saya memiliki ikatan tak terpisahkan. Kalian bisa temui saya di mana saja, tapi ketika saya menemui kalian, kalian juga harus menemui kekasih saya. Buku. Kami adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Kalian harus bersiap-siap cemburu dengannya.

Hubungan antara kami tak selalu mulus, banyak rintangan yang menghadang. Beberapa terang-terangan menentang hubungan kami. Saya juga sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini. Saya kebal, mati rasa. Mungkin saya bakalan sedikit bersedih-sedih, merambangkan airmata sekejap. Namun saya tahu pasti setiap hubungan tak pernah ada yang selalu mulus.

Saya pernah patah hati dengan beberapa buku, Rahasia Selma (RS) karya Linda Christanty, contohnya, juga ada sebuah novel, Syair Panjang Aceh (SPA) karya Sunardian Wirodono. Namun pertengkaran saya dengan "mereka" adalah saya jelaskan dengan musabab yang berbeda. RS tidak menarik lagi untuk saya, sedangkan SPA, saya terhenti pada suatu bagian yang saya sadar saya tak bisa menerimanya. Bagian itu adalah novel ini tidak bisa mengambil jarak dengan saya. Terlalu intim, terlalu banyak yang dicerabut dari kejadian yang saya alami.

Saya tak pernah menyerah pada hubungan yang sulit itu saja, maka saya pun teringat dengan sebuah kutipan,
Hidup akan berusaha untuk selalu menjatuhkanmu, namun kau akan selalu punya pilihan untuk bangkit kembali. (Quotd. Mr.Han; Jacky Chan, From The Karate Kid)
Membaca kutipan tersebut, saya jadi ingat sebuah lagu Joan Baez, yang kemudian dinyanyikan oleh Sita dalam film pergerakan GIE, begini kira-kira liriknya:


On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.

How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.

Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.

"Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?“ + Chorus

Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But who ever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly. + Chorus 


Saya tak akan pernah mau menjadi "Calves: anak sapi" yang mudah diombang-ambingkan, diserimpung. Saya adalah "Swallow : layang-layang" yang punya pilihan untuk bangkit dari serimpung itu. Saya mempunyai caranya sendiri untuk belajar memaknai dan mencari kebebasan.Saya belajar terbang dengan cara saya sendiri.

Sebuah, harta yang akan sulit didapat, namun saya yakin saya mampu. Sementara ketika saya menulis tulisan ini, saya lagi-lagi meraung. Akibat keteledoran saya memindahkan data, ada data-data penting mengenai tulisan-tulisan saya yang tidak bisa terselamatkan. beruntung beberapa sempat saya punya simpanan file nya di email. Sebuah tulisan singkat saya ketika saya belajar merentangkan kepak sayap saya di dunia kepenulisan pertama kalinya. *Scripta Magnent*

1) Masa Kecil “Perempuan ini”

Apakah anda pernah melihat film atau membaca bahkan mungkin tahu soal Xena? Yah, Xena ksatria perempuan yang mempunyai senjata cakram dan pedang, teman akrab Hercules legenda dari Yunani itu. Saat Perempuan ini masih berseragam merah-putih, perempuan ini sangat memujanya. Tentu saja, ini adalah plot yang dibangun televisi agar penikmatnya mencintai tokoh-tokohnya. Perempuan ini pun sangat mengaguminya.

Ketika Perempuan ini ditanyakan bagaimana persinggungannya dengan dunia tulis menulis. Maka Perempuan ini tidak segan-segan mengatakan bahwa tampaknya Perempuan ini ingin menjelmakan diri seperti Xena. Suatu kelekatan Perempuan ini, buku dan pena adalah sama dengan persinggungan Xena, pedang dan cakram.

Apakah ini anugrah atau kutukan? Versi nya tentu berbeda bila hal tersebut ditanyakan pada Perempuan ini dan orang tuanya. Orang tua nya sangat mensupport untuk memberi hadiah “pedang-pedang” dan “cakram”. Namun tentu lain cerita ketika mereka ditanyai soal apakah Perempuan ini diperkenankan menggunakan dan mempelajari senjatanya? Maka dengan tegas Perempuan ini mengatakan. TIDAK.

Marah, tentu. Sama dengan respon seorang musuh yang ingin tahu rahasia musuhnya, macam teori Sun Tzu katakan dalam The Art of War. Gejolak Perempuan ini untuk mencari tahu sebab ketidaksetujuan orang tua cukup membuat kegelisahan nya hilir mudik dalam riuh otak. Semakin terlarang, maka semakin tertantang lah ia. Boleh dibilang, Perempuan ini adalah pelaku vandalisme dari meja-meja kursi sekolah. Hal ini dilakukan karena orang tuanya hanya memperkenankannya menggunakan pedang dan cakram sebatas pada kurikulum sekolah. Selebihnya: TIDAK.

Melatiku

Di depan rumahku ada pohon melati
Kalau mekar cantik berseri
Kutanam di taman berjajar rapi
Melatiku kusiram setiap hari

Inilah tulisan pertama yang sangat dihapal Perempuan ini, saat kelas 4 SD dia mendapat tugas menulis puisi dari ibu gurunya. Dia hapal, karena puisi inilah satu-satunya guratan “pedang” yang diperkenankan oleh orang tuanya dituliskan pada “cakram” nya. Alasannya adalah, karena puisi ini masuk kurikulum sekolah, sementara nasib tulisan-tulisan vandalisme lainnya di bangku-bangku sekolah harus pupus dan luruh tidak dapat dia hapal, bahkan terdokumentasikan pun tampaknya sangat jauh dari angan-angan.

2) Hura-Hura Remaja, Ruang Sunyi “Perempuan ini”

Lika-liku remaja rupanya tak akan mudah dipisahkan dengan romansa “cinta-cinta” an yang mereka alami. Apa yang dilakukan Perempuan ini saat remaja? Punya kekasih? Iya, benar punya, dia memang punya beberapa lelaki yang secara sembunyi ataupun nyata-nyata mengasihi ataupun dikasihinya. Namun bukan itu yang ingin dia ceritakan, ia ingin bercerita tentang kekaguman dan proses “cinta-cinta”annya terhadap objek bahasan lain. Yaitu, tulisan yang terdiri dari elemen kata-kata yang terangkai sebagai alat ekspresi kegundahan dan kegelisahan.

Sebuah grup musikalisasi puisi, Sanggar Matahari DEAVIES namanya. Dari sana ia diberi kesempatan lagi-lagi untuk mengawinkan senjatanya. Pedang dan cakram, kemudian ia menyadari ia mempunyai senjata lain, senjata itu adalah cambuk. Perempuan ini mengetahui suatu harmonisasi “ajaib” dari perpaduan unsur pena, buku dan musik dari sebuah grup musikalisasi puisi ini. Berawal dari sebuah konser Sanggar Matahari, sebuah grup yang beranggotakan 4 bersaudara dari Medan sebagai tim inti, di Surabaya saat perempuan ini masih duduk di kelas 1 SMA, aura keingintahuannya pun terpompa. Ia datang, ia lihat, kemudian ia jatuh cinta padanya. Puisi yang dielaborasi dengan instrument musikal. Musikalisasi puisi.

Perempuan itu kini menyadari senjata barunya berupa cambuk. Cambuk yang sudah bertahun-tahun ia akrabi, ternyata bisa dikawinkan dengan senjata-senjatanya sebelumnya “pedang dan cakram” . Cambuk itu adalah musik. Orang tuanya sudah akrab dengan musik, dan akhirnya perempuan ini menganggap ia mempunyai celah untuk masuk lebih intim ke dunia seni, layaknya ia telah lebih dahulu intim dengan pedang dan cakramnya. Ia mempunyai pemikiran bahwa musik bisa menjadi jembatan, agar orang-orang yang belum membuka diri untuk memahami kesukaannnya sedikit demi sedikit membuka diri atas kesukaannya itu. Ia hanya teringat filosofi Sunan Kalijaga, menyebarkan kebaikan lewat ajaran-ajaran yang telah dimengerti sebelumnya oleh si penerimanya, dalam hal ini wayang, yang ia analogikan sebagai musik.

Tulisan-tulisan yang ia buat, kemudian tidak akan pernah menghilangkan kesan lagu. Yah, ia selalu membayangkan kalau tulisan-tulisan tersebut bila dibacakan akan mempunyai kesan mendayu seperti lagu. Lirih saja, karena ia tak suka dengan orang-orang yang berteriak-teriak seperti orang tuanya di hadapannya, atau seperti orang-orang yang membelenggunya dengan aturan. Ia ingin melepaskan itu semua, mencari kedamaian dengan irama tulisan yang tidak terlalu berat dipikirkan, dicerna, dan mengobati kekesalan, sembari menyuarakan kegundahan.

Sayang, akibat pemusnahan beberapa catatan hariannya, ia tidak menemukan secuil tulisan pun yang ia catatkan, ia juga tidak mengingatnya. Yang jelas ia hanya mengingat satu buah sajak Taufiq Ismail (Karangan Bunga) dan satu buah sajak Chairil Anwar (Tuhanku) yang ia rekam di atas kaset model lama, yang kemudian ia yakini sebagai salah satu tampilan musikalisasi puisi. Dari sana, dengan berbekal nilai raport, esei sederhana, dan rekaman kaset itu, ia mendaftar ke salah satu institut seni lumayan besar di jantung ibukota. Apa yang terjadi?

3) Memahami, Merencanakan Masa Depan dan Proses Pendewasaan Diri "Perempuan Ini"

Meski ia berhasil memegang kunci untuk masuk institut itu, lagi-lagi sebuah aral di depan menghadang. Ia gagal menempuh studi di sana, dan kemudian memilih jalur alternatif pendidikannya saat ini. Ia ingin lebih memahami manusia-manusia yang tidak mengerti keinginannya. Meski begitu, catatan ini bisa menjadi catatan tersendiri bagaimana rumitnya melumpuhkan stigma ketidaksetujuan orang-orang tersebut terhadap dirinya.

Ia kemudian mengenal jalur maya, kekuatan internet dan situs-situs penulis pemula semacam kemudian.com, membuatnya mengenal seseorang sahabat yang mengenalkan dia tentang apa dan bagaimana menulis. Bersama mereka menjalin persahabatan, sekaligus kompetitor dan mitra kreatif satu sama lain. Mereka kemudian bersama-sama menggagas suatu kelompok jaringan menulis sendiri, belajar dari penulis-penulis yang telah terlebih dahulu terjun ke dunia ini. Mereka ingin belajar, dan menulis itu saja. Satu persatu rekan mereka bergabung dan mereka membentuk keluarga. Perempuan ini dan rekan-rekan mereka menyebut keluarga mereka adalah ESOK, sebuah Komunitas sastra yang tidak hanya individual menjaga keberlangsungan proses kreatif namun juga ingin terjun dalam gerakan nyata seperti amuba, menulari individu dan komunitas lain untuk membagi efek keceriaan keluarga mereka ke masyarakat kecil mereka lewat aktivitas baca diri, menulis diri dan sebagainya.

Perempuan ini hanya ingin mencurahkan apa yang ada di otak, apabila ada yang menganggap ini sebagai tulisan yang memiliki suatu nilai "sastra". Ia hanya menganggap semua orang berhak mengapresiasi satu dengan yang lain. Cinta, semangat, idealisme, keterbukaan dan curahan hati adalah balutan yang benar-benar ia kedepankan. Tak ada yang ingin ia tutupi. Karena ia percaya, ketika kita membuka diri kepada orang lain, maka orang lain akan mau berbagi dengan kita. Bukan kah itu suatu harmoni yang indah?

Sangat jarang ia temui, orang yang mengeluh "aku nggak ngerti maksud tulisanmu". Meski ia pun tak menafikkan ada beberapa orang yang merasa seperti itu.

Maka, kemudian inilah Saya, sang "Perempuan ini".

Dengan melihat uraian proses memaknai hidup saya, maka saya mulai paham dengan tulisan saya. Sekali lagi, belum lah pantas proses kreatif yang sekedar curahan hati saya diapresiasi sedemikian takjubnya seperti tebaran-tebaran mutiara contohnya, di jalur facebook atau kemudian.com misalnya, dengan tataran teoretis sastrawi. Saya menulis dengan hati dan rasa. Teori sastrawi saya masih berusaha belajar. Ya tentu saja, ini dikarenakan saya sendiri bukan berasal dari disiplin sastra.

Apakah kemudian saya menjadi penulis, penyair atau tetekbengeknya?

Wah... itu nanti dulu. Saya pernah paham ada satu kutipan Arswendo Atmowiloto yang termaktub dalam film Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Saya Monyet. "Kamu boleh berhenti atau tak menjadi Penulis, tapi jangan sampai kamu berhenti menulis". Maka, inilah yang saya lakukan, saya hanya orang yang BUKAN Penulis, Penyair atau tetek bengeknya yang hanya sekedar menulis mencurahkan kata hati, pikiran dan perasaan saya. Saya bukan tidak memperbolehkan orang menganggap saya, menautkan saya dengan label-label tersebut. Tapi dengan keterbatasan saya, saya merasa saya masih belum layak dengan pelabelan tersebut.

Terimakasih, atas segala apresiasinya....


Nisa Ayu Amalia
Sby, 120909

*"Pengarang itu korps avant garde, bukan menghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya”

oleh Pramoedya Ananta Toer

Minggu, 26 Juni 2011

Cinta, Romantisme, Terbang, Harapan dan Melankolia

Seorang sahabat saya mengatakan bahwa,

Apabila seseorang yang telah membuatmu tersentuh dalam kondisi apapun itu, sesedikit pun itu, kau tidak mungkin menafikkan. Ia telah membuat perubahan dalam dirimu, apapun itu, sesedikit pun itu.

Kata-kata ini mungkin juga serupa dengan kutipan dialog batin Stacy tokoh dalam film Little Black Book di bagian hampir akhir film tersebut :
“Bagaimana mungkin seorang anak perempuan tidak berubah ketika ia masuk ke lubang kelinci kekacauan? Jawabannya, ia pasti berubah”
Masih ingat alegori Alice in a Wonderland kan? Yah, Alice yang masuk ke lubang kelinci ternyata masuk ke lubang lingkaran kerajaan yang semakin lama ia masuk ke sana ia tak akan bisa keluar. Tentu saja sekali nya ia keluar, ia akan menjadi pribadi yang berbeda.

Saya mau meninggalkan Alice, Little Black Book sejenak, bagaimana ketika kita terperosok dengan sesuatu hal yang namanya Cinta. Saya juga tidak mengerti juga arti cinta seperti apa, mungkin juga itu cinta ketika saya membaca kisah nyata ini.

Ciuman Maut Liu Mampu Luluhkan Niat Bunuh Diri Pemuda Cina

RepublikaRepublika – Sab, 25 Jun 2011
REPUBLIKA.CO.ID, SHENZEN - Liu Wenxiu mendadak populer di Cina. Gadis 19 tahun ini berhasil menggagalkan upaya bunuh diri yang dilakukan seorang pemuda dengan ciuman mautnya.

Ceritanya, hari itu dia pergi berbelanja bersama teman-temannya ke sebuah pusat perbelanjaan ramai di Shenzhen, Provinsi Guangdong. Saat tengah makan di sebuah restoran, mereka menemukan kerumunan pengunjung mal. Rupanya, mereka tengah menonton seorang pemuda yang hendak mengiris lehernya dan terjun dari ketinggian.

Liu melihat, tak seorangpun yang berusaha membujuk sang pemuda. Bahkan, polisi di sekitarnya pun hanya berjaga-jaga saja.

Liu berlari mendekat. Polisi menghalanginya.

Tak kehilangan akal, ia mengaku sebagai pacar sang pemuda, dan pemuda itu hendak bunuh diri karenanya. Padahal, itu hanya cerita karangan Liu saja. "Saya hanya ingin mendekat padanya, mengajak bicara, dan syukur-syukur dia mengurungkan niatnya," katanya.

Ia mendekat. Dari obrolan, diketahui pemuda itu putus asa karena keluarganya berantakan. Sebagai anak hasil broken home, ia memahami perasaan sang pemuda. Mereka pun terlibat dialog.

Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas hati pemuda itu makin melunak. Liu kemudian berjalan perlahan mendekatinya, merangkulnya, dan kemudian menciummnya. Sang pemuda menjatuhkan pisau, dan membiarkan petugas pemadam kebakaran membantunya melompati pagar, menyelamatkan dirinya.

Apa yang mereka perbincangkan? Liu tutup mulut. "Ceritanya menyentuh saya. Tapi tiba-tiba saya merasa saya sangat memahaminya dan serasa saya adalah pacarnya," ujarnya, tersipu. So Sweet!

Atau mungkin ketika saya membaca cerita ini, maka ini kah cinta yang dimaksud?

Wanita Prancis Nikahi Jenazah Sang Tunangan

Liputan 6Liputan 6 – Jum, 24 Jun 2011
Liputan6.com, Prancis: Seorang wanita asal Prancis cinta mati kepada kekasihnya, hingga tetap menikahi jasad tunagannya di kuburan. Seperti diwartakan Dailymirror, Jumat (23/6), Karen Jumeaux tetap menikah dengan  Anthony Maillot yang telah meninggal dua tahun lalu.
Mereka bertunangan 2007 silam. Tapi, Anthony tewas 2009 silam akibat kecelakaan. Sejak itu, Karen berusaha untuk tetap menikahi tunangannya, meskipun harus melakukan berbagai cara, termasuk meminta persetujuan dari Presiden Perancis Nicolas Sarkozy.
Akhirnya Karen bisa menikah dengan Anthony karena mendapatkan jaminan khusus. Dengan mengenakan gaun putih, Karen menikah di tempat Anthony dimakamkan di Dizy-le-Gros, Perancis Timur, disaksikan oleh keluarga dan teman dekatnya. Karen dan Anthony telah memiliki satu putra. Anthony meninggal sebelum hari pernikahannya.
"Anthony adalah cinta pertama dan terakhir saya. kami telah bersama selama empat tahun. Sekarang, saya adalah isterinya. Saya akan selalu mencintainya," ungkap Karen sambil menitikkan air mata. Ia menambahkan, seharusnya ia bisa membesarkan anak dengan Anthony, tapi takdir berkata lain.
Pakar hukum Prancis mengatakan bahwa Karen ingin menikah lagi, wanita berusia 22 tahun itu harus tetap melayangkan gugatan cerai. (Vin)
Cinta apapun dalilnya tak akan mudah didefinisikan, karena semakin rumit kita menjelaskan, semakin tidak jelas juga pemahamannya.

Saya sendiri percaya cinta adalah untuk menginginkan dan diinginkan, dan lebih dari itu, adalah untuk mempertahankan. Sayangnya tak semua harapan bisa menetap dan bertahan. Cinta tidak akan takhluk pada hukum kepemilikan, karena kita semua sejatinya tidak memiliki apa-apa. Maka, ketika saya mendengarkan lagu Gigi – Terbang, yang bunyi liriknya seperti demikian,
Terbang - GIGI
Terpikir... dan terpana
Dan terdiam... ku melihat
Sadarku... bertahun
dan bersama... terwujudlah ah...

Reff: Terbayang... yang terindah
Yang terhampa... berlalulah
Sadarku... semuanya
Perasaan... rasa cinta ah...

Kaulah yang dinginkan aku
Dari mimpiku dari mimpiku uoohh..
Coba terbangkan anganku
Dari sadarku ...

Back to reff.
Reff # : Kaulah yang dinginkan aku
Dari mimpiku dari mimpiku uohh..
Coba terbangkan anganku
Dari sadarku dari sadarku..

Back to reff #
Cinta kadang membuat kita terbang untuk menggapai  apa yang kita inginkan, namun juga akan melemparkan kita sejauh yang mereka mau karena cinta juga sebuah hasrat yang punya sayap. Bisa terbang bahkan lenyap, seperti gelembung sabun. Dari gelembung sabun, otak saya malah melayang dan membuat tulisan ini. Tidak jelas, mungkin saya sedang dilanda melankolia.
Tentang Sajak Romantis yang Sama Sekali Tak Romantis
: kepada "ia"
sajak romantis tak perlu datang dari tempat yang romantis. tak perlu ada hutan, tak perlu ada laut, tak perlu ada senja, tak perlu ada gerimis, tak perlu ada gunung, tak perlu ada angin dan tak perlu ada rerumput. tak perlu kau setubuhi malam, tak perlu meratap dinding kamar.

mungkin sajak romantis adalah seraut wajahku yang kau duduki tepat di sisi pantatmu. bagaimana? seraut wajah yang kau tangkap dari kamera kemudian kau selipkan di saku dompetmu. dari sisi itu mungkin aku menjadi sesuatu yang menemanimu kemana saja.

sajak romantis tak perlu datang dari tempat yang romantis. tak perlu ada hutan, tak perlu ada laut, tak perlu ada senja, tak perlu ada gerimis, tak perlu ada gunung, tak perlu ada angin dan tak perlu ada rerumput. tak perlu kau setubuhi malam, tak perlu meratap dinding kamar.

bagaimana kalau sajak romantis lahir dari kamar mandi. aku bayangkan, kita mandi berdua, dengan ditemani sabun dan busa yang menggelembung terbang. aku jadi iri dengan sabun, karena ia memahami lekuk tubuhmu jauh daripada aku. ia paham tiap sudut letakan tahi lalatmu, dakimu, kutu airmu. mungkin ia yang paling paham aroma keringatmu. dan khayalanku mungkin hanya menjadi balon sabun pecah diruap angkasa mimpi.

sajak romantis tak perlu datang dari tempat yang romantis. tak perlu ada hutan, tak perlu ada laut, tak perlu ada senja, tak perlu ada gerimis, tak perlu ada gunung, tak perlu ada angin dan tak perlu ada rerumput. tak perlu kau setubuhi malam, tak perlu meratap dinding kamar.

cukup ada kau dan aku, meski dalam bayangan kepala-kepala kita yang berputar, mencari tempat-tempat yang kita inginkan. bahkan itu di kolong tempat tidur sekalipun, di atas jembatan, di warung kaki lima, atau mungkin dalam ruang imajinasi kita

kau dan aku, adalah sajak romantis yang pernah tercipta

Sabtu, 25 Juni 2011

Taman Daun, "Jingga", ESOK, Halte Sastra dan Rindu

Lepas Senja Taman Daun, dinyanyikan Gita Pratama
Lepas Senja Taman Daun

: jingga


kaki yang menjejak paving taman kota
membaur musik senja perlahan surut
ada nyanyi sorai koor anak-anak daun
lirih mengurai bisik angin ragu

sebuah pesan diterbangkan kepak burung
pulang ke sarang mengalungi jingga

sungguh jingga,
aku ingin menjadi burung-burung itu
merengkuhmu malu-malu dalam rindu
mengalungkan peluk ke luasan tubuhmu

sby, 050509
*taman daun

Entah ini termasuk nominasi project lagu yang hari keberapa. Lagu ini dahulunya adalah puisi yang aku buat sendiri, nadanya pun aku karang-karang sendiri dengan gitar akustik sederhana.

Puisi ditulis karena ia menginginkannya, karena ia ditakdirkan terlahir.


Maka alkisah, ketika saya diributkan dengan persiapan acara komunitas seni saya, ESOK, kami melatih anak-anak kampung di sekitaran Taman Bundaran Dolog, A. Yani Surabaya, sajak ini lahir. Mak-prucut...? Begitu saja...? Tidak.

Waktu itu saya asyik dengan melankolia. Menyaksikan benar-benar senja yang rambang di sana. Taman ini sebelumnya tidak bernama sebegitu indah jadi Taman Daun, sebenarnya. Namun, ada seorang anggota yang memberi nama demikian karena terilhami oleh pantulan monumen di sana yang membias seperti daun. Simetris membentuk dua sisi tulang daun yang sama.

Saya menyaksikan laju burung-burung pulang yang seakan-akan memeluk langit senja. Saya jadi rindu "jingga" penyebutan seseorang yang saya sebut dalam doa saya, tidak munafik saya cinta.

Bulan Agustus kalau tak salah, baru saya menyisipkan nada dalam puisi tersebut. Puisi tersebut kemudian dibawakan pertama kali ketika acara Halte Sastra (sayang pada saat itu saya terbaring di rumah sakit), dan akhirnya Gita Pratama teman saya di ESOK menyanyikan musikalisasi puisi tersebut di malam "Halte Sastra". Halte Sastra sebenarnya merupakan acara temu penulis pemula (yang kemudian mereka sebut dengan sastrawan muda) Jawa Timur. Entah bagaimana prosesnya, saya masuk dalam list mereka. Padahal saat itu sajak Gita Pratama sudah masuk menasional.

Bagi saya sajak ini punya ruh "kepak sayap" saya yang pertama. Yang membawa saya "terbang" menuju dunia yang saya sebelumnya tak tahu menahu. Sastra dan kepenulisan. Juga mungkin... cinta.

Day 15, Burung Layang-Layang : Kisah Buruh Migran yang Berkelana



Burung Layang-Layang
by : Tasya

tampak jelas di langit biru jernih
sekawan burung layang-layang
dengan akrab terbang beriring-iring
dengan bebas melayang-layang

sungguh senang mereka terbang
turun naik berkeliling
berkejaran tak hentinya
damai tenang bercengkrama

Penggalan lagu ini sebenarnya merupakan lagu anak-anak yang riang. Namun entah ketika saya mendengarkan yang ada justru perasaan terasing dan menginginkan suatu kebersamaan dan kebebasan seperti yang didengungkan liriknya. Burung Layang-Layang, seperti layaknya nama identitas yang saya pilih merupakan simbol kebebasan, kekuatan dan ketertarikan untuk melakukan perjalanan jauh demi apa yang dicapainya.

Bebas berarti Sendiri, Atau...?

Saat terbang apakah kita benar-benar punya kawan? Jangan-jangan tidak. Saya jadi ingat curahan hati teman-teman ketika memulai perjalanan ke luar negeri (lebih-lebih) untuk yang pertama kalinya. Apakah mereka paham lingkungan mereka yang baru? Apakah mereka mampu membangun pertemanan dengan orang-orang baru di negerinya kemudian? Apakah mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Alkisah, buruh migran yang mencoba menjadi burung Alang-Alang. Mereka adalah pejuang tangguh, menempuh perjalanan jauh, dengan memakai "sayap" (kemampuan) kecil mereka. Meninggalkan sanak keluarga, tanah kelahiran dan serta penghidupan yang telah mencukupi mereka hingga mereka berangkat.

Saya menjadi sangat sentimentil hari-hari ini untuk soal keterasingan, kesendirian dan soal meninggalkan tanah kelahiran. Memilih untuk pergi itu semua apakah suatu hal yang mereka inginkan? Bukankah hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang? Itu kata pepatah...

Baik, sekarang kita membicarakan bukan satu-dua orang pejuang namun jutaan pejuang di luar negeri.Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BAB VI Pasal 31 disebutkan bahwa
"Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri."
Kalau begitu mengapa mereka tidak cukup dengan berada di dalam negeri saja? Dan kenyataannya, kesempatan tak pernah 'sama' untuk para Buruh Migran Indonesia (BMI). Ketika mereka bermasalah, seakan semua pihak cuci tangan membiarkan mereka 'sendiri'. Mungkin berbeda ketika mereka 'terbang' untuk berangkat dan 'terbang' untuk pulang. Kepergian mereka akan disambut dengan calo dan oknum yang memeras tidak hanya materi namun juga kehormatan mereka. Dan ketika mereka pulang dengan membawa masalah, mereka akan kembali sendiri.

Dan apakah Buruh Migran Indonesia yang 'terbang', tidak mempunyai takdir seperti yang dilukiskan oleh lagu "Burung Layang-Layang" ini?
"Damai tenang bercengkrama"
.....

Day 29 : Sherina, Balon Udara, Mimpi Masa Kecil dan Film Klasik

The Hindenburg (1975): “Perangkap” Balon Udara (Resensi Film)

Disutradarai : Robert Wise
Diproduksi : Robert Wise

Ditulis : Nelson Gidding
Richard Levinson
William Link

Dibintangi : George C. Scott
Anne Bancroft
Musik oleh : David Shire
Pembuatan film : Robert Surtees
Editing oleh : Donn Cambern
Didistribusikan oleh : Universal
Tanggal rilis (s) : 25 Desember 1975
Durasi : 125 menit
Negara : Amerika Serikat
Bahasa : Inggris


...Langit biru
Awan putih
Terbentang indah
Lukisan yang kuasa

Ku melayang
Diudara
Terbang dengan balon udaraku


Oh sungguh senangnya lintasi bumi
Oh indahnya dunia...



Begitulah tangkapan pengalaman dalam penggalan lagu “Balon Udara” yang dibawakan oleh Sherina. Entah apa yang dipikirkan oleh Zeppelin ketika menciptakannya. Menerbangkan hampir ratusan nyawa dalam “perangkap” gas helium yang mudah terbakar, tentu sebuah resiko yang harus dibayar. Dalam masa kejayaan NAZI, melayang-layang di udara, terbang bebas menyaksikan pemandangan daratan adalah salah satu impian yang tidak mudah dilakukan. Zeppelin kemudian di era tahun 1937, mewujudkan salah satu caranya. Namun ternyata, impian dan penemuannya itu dimanfaatkan oleh NAZI sebagai sebuah usaha propaganda menunjukkan kebesaran dan kejayaan imperiumnya. Apapun bisa terjadi bila berbicara soal potitik. Dan latar belakang tersebut yang dicoba dielaborasi sebagai cerita, mewarnai tragedi sejarah perjalanan salah satu alat transportasi udara ini.

Salah satu tragedi yang akan tercatat adalah tragedi balon udara Hindenburg, balon udara kebanggaan Jerman masa NAZI berjaya ini tercatat terbang di tanggal 6 Mei 1937 dan dikomandani oleh Kapten Max Pruss

Hindenburg, nama balon udara itu, berangkat dari keyakinan NAZI akan kemegahan dan kecanggihan bangsa Jerman. Menampung 97 penumpang dan puluhan awak dari daratan Jerman, ia membelah langit dengan gagah bersama kibaran logo “swastika di bagian sirip, melintasi Atlantik menuju Lakehurst, New Jersey.

Sebagai film yang dibuat di era tahun 1970 an The Hindenburg mencoba menangkap tragedi nyata tersebut. Sinematografinya memadukan tekhnik pengambilan gambar dari hitam-putih menuju ke multi-warna dan kembali lagi ke hitam-putih. Tekhnik ini merupakan salah satu terobosan kreatif yang tentu mempunyai maksud dalam pijakan jalan cerita keseluruhan. Pemirsa diajak untuk kembali ke masa silam, kemudian ketika bergerak di inti cerita maka sinematografi diubah menjadi multi warna dan kemudian kembali ke hitam putih lagi saat tragedi terjadi.

Tak hanya itu, kerangka dari balon udara dibuat sedemikian rupa mendekati aslinya dengan budget yang tak main-main banyaknya. Yang kemudian di akhir cerita replika kendaraan itu harus dikorbankan dibakar seperti layaknya tragedi nyatanya. Tak salah bila kemudian Academy Award tahun 1976 menganugerahi dengan nominasi Sinematografi terbaik, Best Art Direction, Suara Terbaik dan tentu saja tidak mengesampingkan keberhasilan film ini pada Peter Berkos untuk Efek-efek suara, juga Albert Whitlock dan Robinson Glen untuk Efek Visual.

Bila boleh membandingkan, adegan demi adegan mengingatkan adegan film Titanic di era 2000-an. Jadi bayangkan, bila di era tahun 1975 sudah mampu membuat film semegah Titanic di era 2000 an. Film ini layak mendapat kredit title sebagai film yang cukup revolusioner dalam pijakan sinematografi dan efek visual maupun audio.

Tipikal “Amerika”

Dibuat sebagai rekonstruksi peristiwa sejarah atas meledaknya Hindenburg secara misterius, jalan cerita serta plot yang dibangun di dalamnya dibuat dengan konsep fiksi, termasuk plot sabotase yang menjadi inti cerita. Tidak hanya memuat rekonstruksi meledaknya Hindenburg sebagai klimaks, The Hindenburg juga sebenarnya memasukkan tragedi Graf Zeppelin dan mengganti nama beberapa nama tokoh yang termasuk dalam daftar korban. Tidak hanya itu beberapa nama tokoh pun ditambahkan.

Apa yang tersaksikan adalah bagaimana pola pikir industri perfilman Amerika memandang sejarah tragedi penerbangan Jerman-NAZI. Dalam kebanyakan film produksi Amerika syarat yang kerap terlihat adalah harus mempunyai aktor hero yang menonjol.

Kali ini tokoh utamanya Kolonel Franz Ritter berusaha menyelidiki benar atau tidaknya ancaman bom Kathie Rauch yang mengirimkan surat ke Kedutaan Besar Jerman di Washington DC. Kathie menyatakan bahwa Hindenburg akan meledak setelah mencapai New York. Bersama Martin Vogel, yang adalah seorang perwira Gestapo, Ritter memata-matai penumpang juga awak kabin dan menyisir berbagai kemungkinan pelaku peledakan Hindenburg. Mereka melakukan penyamaran dengan berpura-pura menjadi fotografer.

Kathie Rauch tidak sepenuhnya salah, Boerth, seorang anti-NAZI, salah satu awak kabin, merencanakan sebuah aksi sabotase. Ia meletakkan sebuah bom di sebuah partisi tambalan balon. Dengan serangkaian aksi penyelidikan, detektif-detektif-an, kait mengkait fakta, Ritter mengetahui maksud Boerth. Bukan menangkap boerth, tapi Ritter malah bersimpati karena alasan Ritter merencanakan aksi peledakan bunuh diri karena ia ingin membungkam NAZI dengan alat symbol kejayaannya, balon udara Hindenburg. Boerth malah mengajak Ritter membantunya dengan meminta informasi kapan balon udara dikosongkan. Ritter memang menerima usul Boerth asalkan ada jaminan bahwa tidak ada korban nyawa sipil yang dikorbankan atas aksi tersebut. Ia kemudian juga memberitahukan sebuah perkiraan waktu, bila Boerth dapat menjalankan aksinya yaitu sekitar jam setengah 8 malam. Penunjuk waktu bom akhirnya disetel pada waktu tersebut. Malangnya, karena cuaca buruk Hindenburg baru merapat di New Jersey pukul 19.15 dan penumpang belum juga mendapat perintah untuk turun. Sesuai waktu yang disetel pada pukul setengah 8 malam, Hindenburg meledak. Dan memberangus simbol kemegahan intelektual Jerman-NAZI.

Era tahun 70 an erat kaitannya dengan masa-masa kejayaan dari film detektif spionase, sebut saja James Bond. Hero yang satu ini berpakaian klimis, sisir belah pinggir samping dan minyak rambut. Jangan lupa dengan dandanan necisnya. Bagaimana dengan tokoh-tokoh Hindenburg? Seperti itulah dandanannya, sebut saja jas necis khas James Bond lekat menempel, sangat jauh dari kesan kumal masa resesi tahun 1930-an akhir. Yah mungkin saja hal itu karena penumpang Hindenburg adalah orang-orang kaya.

Selebihnya, ini adalah film megah nan mahal, meski di kalangan publik sendiri berkembang banyak kritik mengenai kegagalan membangun plot cerita yang cambur baur memadukan fiksi dengan sejarah. Banyak logika jalan cerita yang janggal dan luang, bahkan unsur sejarah sendiri pun banyak mengikutsertakan tragedi sejarah lain, yang entah disengaja atau tidak alih-alih sebagai dramatisasi cerita, namun malah mengaburkan sejarah yang ada. Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi bila penulis skrip tetap konsisten mempertahankan judul “The Hindenburg” yang sudah lekat dengan peristiwa sejarah. Karena film bisa juga merupakan sebuah dokumentasi sejarah, apa jadinya bila sejarah diputarbalikkan, dikarang-karang bahkan memasukkan unsur cerita lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan cerita aslinya.