Pesawat

Kamis, 30 Juni 2011

Firasat, Bandara, dan Kepergian


katakan sesuatu untuk menahanku (udah gak bisa... bodoh!, udah melerr ingus gue)
dalam diam kau membunuh, langkahmu menjauh (emang mau gw nangis trus pesawatmu jatuh??)
mengapa kau tak menahan langkahku dibandara ini (emang mau gw g ngerelain trus... kenapa2 di atas??)
{Ribas-"Bandara" a monolog Drama Quen)

Sebenarnya itu status lelucon saya ketika saya posting di Facebook saya. Status ini pun sebenarnya rekonstruksi nyata kejadian beberapa tahun silam. Ceritanya, saya sedang mengantarkan kepulangan “seseorang” pulang ke asalnya. Sepertinya memang saya sendiri selalu dilanda ketakutan tersendiri kalau mengantar tamu atau orang yang saya anggap punya kedekatan dengan saya.

Kalau ditanya mengapa, ini ada kaitannya dengan faktor X. Saya menyebutnya intuisi. Ada yang menyebutnya kebetulan, ada juga yang menamai dengan firasat. Contoh nyata adalah ketika saya masih SD, saya seringkali jadi korban bullying teman-teman sekolah saya, mungkin ini ada faktor saya bertubuh kecil, dan menjadi murid termuda di antara teman-teman yang lain. Ada beberapa orang yang (mungkin kebetulan atau tidak) mendapat balasan atas perlakuan buruknya pada saya.

Saat saya kelas 4 ada sekelompok anak yang mencegat di jalan dan meminta paksa barang dan uang saya sepulang sekolah. Waktu itu memang saya sedang  pulang sendirian, setelah berhasil merampas jam tangan, uang saku serta sepeda saya, lelaki tiga anak seusia mungkin SMP karena saya masih melihat celana biru yang masih dipakai, tapi tanpa memakai seragam putih. Setelah mempreteli barang-barang saya mereka bertiga ngeloyor pergi, dan boleh percaya atau tidak, sebuah sepeda motor melintas, menyerempet salah satu anak itu. Anak itu mungkin pimpinan dari kelompok itu dan dia sedang memakai sepeda saya. Ia terjatuh. Melihat kesempatan itu saya langsung menghampiri orang yang menyerempet perampas barang-barang saya.

“Ini udah ngompas speda saya, pak” tunjuk saya sambil ngikik karena pengompas saya sempoyongan jatuh dari sepeda.Yah, mungkin akhir cerita itu, kita bisa menebak sendiri bukan?

Berkaitan dengan intuisi saya, saya akui juga sebenarnya sangat lekat pada keseharian. Terus terang, saya bukan anak yang suka belajar. Saya serius. Namun sangat mengherankan bahwa saya mencapai pendidikan yah dengan prestasi tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain. Rahasianya, saya selalu tahu areal-areal atau bahan-bahan apa saja yang diujikan. Yaa… tentunya saya harus menghapal cara dan latihan. Itu sebabnya saya tidak begitu pandai di mata pelajaran menghitung.

Intuisi saya juga peka terhadap hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Bisa berupa tanda-tanda saja,, pada orang-orang terdekat atau yang saya anggap dekat dengan saya. Contohnya peraturan utama ketika jadi orang terdekat saya adalah apapun keadaannya “turuti saja apa kata saya”. Termasuk bila suatu ketika kalian berkunjung ke kota saya, dan menginap beberapa hari. Bila saya katakan pulang hari A, maka di hari itulah anda pulang. Entah apa yang terjadi, biasanya orang yang tetap ngotot pulang di hari yang saya perkirakan ada saja halangan-halangan yang terjadi. Padahal saya tidak pernah meniatkan mencelakai orang yang saya kasihi atau dekat dengan saya, bukan? Beberapa kali saudara yang datang, namun pulang dengan sedikit  rintangan. Kehabisan tiket, ketinggalan kereta/bis, bangun kesiangan sampai pernah kecelakaan.

Persoalannya adalah soal kerelaan. Dan saya adalah tipe orang yang tidak mudah merelakan seseorang untuk pergi. Yah kepergian adalah sesuatu yang teramat berat untuk saya hadapi.

Sekitar dua tahun yang lalu, intuisi itu saya berhasil patahkan.Saya berusaha menuruti kehendak “seseorang” yang akan pulang, meski itu berat. Entah bagaimana usaha saya, saya berusaha tidak menangis sampai ia berangkat. Saya berhasil, meskipun toh akhirnya saya menarik ujung baju bunda saya, karena akhirnya saya menangis pula di mobil setelah ia benar-benar pergi.

Jawabannya mungkin satu, saya tak mau terjadi apa-apa terhadap dirinya karena firasat saya.

Ketika saya bercerita pada salah satu teman saya, rasanya lagu Ribas- Bandara paling tepat menggambarkan momen tersebut. Jadi duh.. maaf untuk seseorang yang merasa (mungkin) sikap saya dingin. Sikap saya ini semata-mata karena rasa percaya saya terhadap intuisi saya.

sepi aku menyendiri
diantara keramaian
bersamamu menemani
dipenghujung hari

mgkn hati tak ingin pergi
bila kau yang menahan diri
tak terdiam,tak menbisu
lepas sudah aku meragu

jangan sampai hati
biarkan aku pergi
tersendat dan terlewati
masa yang terindah disini

katakan sesuatu untuk menahanku
jangan diam kau membunuh
langkahmu menjauh

mengapa kau tak menahan ku pergi saat cinta terbang kau sampai hati
mangapa kau tak menahan langkahku di bandara ini

aku menyadari aku tak berarti
kau tak lagi sedih ku tinggal pergi di bandara ini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar