Pesawat

Jumat, 22 Maret 2013

Potongan Cinta di Halaman Buku, dan Apel Menggelinding di Sampingnya

Tak ada yang salah dengan jadwal pesawat, mungkin aku saja yang terlalu ceroboh menggonta-ganti jadwal pertemuanku dengan buyer. Lokasi buyer yang beragam kota membuatku terkadang lupa kota asalku. Medan, aku lahir disana. Jakarta, kantor pusat dan lokasi aku melaporkan aktivitas kerjaku. Surabaya, aku sebulan bisa tiga kali pulang-pergi. Bandung, Jogja, Semarang, Denpasar, Solo, Makasar, Banjarmasin, Sorong? Kadang-kadang karena terlalu ceroboh dan mepet aku suka sekali lupa jadwal terbangku.

Seperti sekarang, atas saran temanku karena Solo tidak punya lapangan terbang, dan jadwal penerbangan ke Surabaya baru malam jam delapan dan itu pun dari Jogja, sementara tiket sudah habis. Maka aku menjemput sore di sini, dengan taksi yang mengantarku dari hotel. Hanya Argo Wilis yang tersisa. Kereta dari Bandung yang melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Aku beruntung, karena beberapa porter angkut di sini membisiki bahwa tiket kereta bahkan yang kelas eksekutif sekalipun akan sulit didapatkan bila memesan dadakan sekarang, apalagi bila tidak beli dari stasiun keberangkatan. Dulu, sekitar setahun yang lalu, mungkin bisa membeli dari calo dengan harga yang berlipat. Sekarang, tidak. Untungnya selembar tiket eksekutif di tangan yang baru saja kubeli, lebih dari cukup untuk membalas rasa lega.

Setelah beberapa penumpang turun, aku akhirnya bisa mendapati tempat dudukku. Dekat jendela. Kududuki kursinya terasa mengganjal sesuatu. Sebuah buku. Aku teriaki ibu-ibu itu, tapi terlambat ia sudah turun dari kereta. Sebutir apel jatuh. Kuabaikan apelnya. Amin Maalouf. Itu nama penulisnya. Aku tak pernah tahu.

Kupikir, daripada melamun kubalik-balik halaman buku itu. Aku tak seberapa suka dengan buku jenis ini. Mungkin isinya hal-hal yang absurd? Mungkin. Karena begitu aku baca di sinopsis bukunya di sampul halaman belakang. Ya, sudahlah.

Kunyalakan MP3 Player. Fiona Apple bersenandung lamat-lamat “Please Send Me Someone to Love”, sambil mulai kubaca buku temuanku itu.

Heaven please send to all mankind
Understanding and peace and mind
But if it's not asking too much
Please send me someone to love
Someone to love


Aku tenggelam dengan nyanyian dari MP3 itu. Aku tak pernah mengerti itu buku tentang apa, yang jelas itu buku cerita, namun aku tak pernah mengerti ceritanya tentang apa. Absurd, se absurd sinopsisnya

Kadang aku terkekeh sendiri dalam hati. Mungkin ini buku milik seorang laki-laki yang ketinggalan. Namun senyampang yang aku tahu, yang turun tadi dari kereta hanya beberapa ibu-ibu dan seorang gadis. Atau mungkin ini buku milik seseorang di stasiun sebelumnya yang tertinggal?

Pikiranku mengarah ke lagu Fiona Apple yang kuulang berkali-kali. Kalau memang ini buku milik seorang gadis, please don’t send her to be someone I love. Aku tak bisa lagi mengatasi keabsurdan yang dibuatnya, mengingat buku yang dibaca saja sudah absurd.