Pesawat

Jumat, 14 Juni 2013

Being Flynn (Semacam Teaser, Bukan Resensi apalagi Review)... Film

Duration
 102 Min
Genre
 Drama
Director:
 Paul Weitz
Writers:
 Paul Weitz, Nick Flynn (book)
Stars:
 Robert De Niro, Paul Dano, Julianne Moore 

Like Father Like Son
Buah tak jatuh jauh dari pohonnya

Kalian bisa bayangkan ketika kalian adalah seorang penulis atau penyair lalu berayahkan seorang penulis atau penyair? Keren? Memang (mungkin) buah tak akan pernah jatuh jauh dari pohonnya. Namun mempunyai seorang ayah yang meninggalkan keluarganya dan bergulat dengan kerusakan perilakunya sendiri mungkin bukan menjadi idaman setiap anak.

 Hidup memang busuk, hukum itu berlaku untuk Jonathan Flynn (Robert De Niro) seorang ayah dari anak laki-laki yang memilih untuk meninggalkan istrinya, Jody (Julianne More) semenjak Nick Flynn (Paul Dano) kanak-kanak.
Jody harus menjadi ibu yang memiliki multi peran, bekerja di dua tempat sebagai kasir bank dan pelayan restoran, menghidupi dirinya dan Nick Flyn sendirian. Sementara Jonathan memilih terperangkap di dunianya. Jonathan memimpikan menjadi penulis, menulis syair-syair pada karya yang tak pernah bisa diterbitkan.

Dalam suatu saat Jonathan ingin hadir kembali di hadapan Nick Flynn dan ingin menggantikan masa-masa yang ia sia-siakan sebelumnya, saat ia meninggalkan Nick. Nick yang masih terpukul dengan kematian Jody, ditemui Jonathan tidak sengaja saat Nick tengah bekerja sebagai petugas sosial di sebuah tempat penampungan tunawisma Harbor Street. Nick Flynn menyukai menulis di waktu luangnya, laporan jaganya pun selalu dipuji dan membuat kolega dan teman-teman kerjanya terkesima

Kemudian, cerita digulirkan pada sebuah relasi ayah-anak yang canggung. Jonathan merupakan pecandu alkohol dan masih saja menganggap dunia sinis melalui bualannya bahwa ia adalah seorang penulis yang menciptakanmasterpiece berjudul The Button Man.

"I've made you, but you are not me, you are not your mother"

Bagaimanapun Jonathan adalah ayah, dan separah-parahnya ayah, Nick adalah anaknya. Maka Nick tak tega membiarkan ayahnya menggelandang kembali setelah diusir dari penampungan karena kecanduan akan alkoholnya yang parah. Bahwa sebagaimanapun ia membenci ayahnya yang telah menelantarkan Nick sejak kanak, ia tidak dapat memungkiri sifat dan bakat yang diturunkan oleh ayahnya. Bahwa sebagaimanapun brengseknya Jonathan sebagai ayah, ia lah yang menyadarkan Nick bahwa ia bukanlah penyebab atas kematian Jody karena bunuh diri hanya gara-gara membaca sebuah tulisan Nick yang belum selesai.

One writer to another. I don't care how good a writer you are, you can't kill someone with words.

Yah, kalimat itulah yang menyadarkan Nick atas kesadarannya untuk berhenti menyalahkan dirinya sendiri atas kematian Jody.

Lalu... ini film Hollywood teman, pasti ada akhir yang bahagia. Dan, ini adalah versi “Cinderella” yang berdasar cerita nyata. Nick Flynn itu penyair besar sekarang. J



<photo id="1" />

Jumat, 22 Maret 2013

Potongan Cinta di Halaman Buku, dan Apel Menggelinding di Sampingnya

Tak ada yang salah dengan jadwal pesawat, mungkin aku saja yang terlalu ceroboh menggonta-ganti jadwal pertemuanku dengan buyer. Lokasi buyer yang beragam kota membuatku terkadang lupa kota asalku. Medan, aku lahir disana. Jakarta, kantor pusat dan lokasi aku melaporkan aktivitas kerjaku. Surabaya, aku sebulan bisa tiga kali pulang-pergi. Bandung, Jogja, Semarang, Denpasar, Solo, Makasar, Banjarmasin, Sorong? Kadang-kadang karena terlalu ceroboh dan mepet aku suka sekali lupa jadwal terbangku.

Seperti sekarang, atas saran temanku karena Solo tidak punya lapangan terbang, dan jadwal penerbangan ke Surabaya baru malam jam delapan dan itu pun dari Jogja, sementara tiket sudah habis. Maka aku menjemput sore di sini, dengan taksi yang mengantarku dari hotel. Hanya Argo Wilis yang tersisa. Kereta dari Bandung yang melanjutkan perjalanan ke Surabaya.

Aku beruntung, karena beberapa porter angkut di sini membisiki bahwa tiket kereta bahkan yang kelas eksekutif sekalipun akan sulit didapatkan bila memesan dadakan sekarang, apalagi bila tidak beli dari stasiun keberangkatan. Dulu, sekitar setahun yang lalu, mungkin bisa membeli dari calo dengan harga yang berlipat. Sekarang, tidak. Untungnya selembar tiket eksekutif di tangan yang baru saja kubeli, lebih dari cukup untuk membalas rasa lega.

Setelah beberapa penumpang turun, aku akhirnya bisa mendapati tempat dudukku. Dekat jendela. Kududuki kursinya terasa mengganjal sesuatu. Sebuah buku. Aku teriaki ibu-ibu itu, tapi terlambat ia sudah turun dari kereta. Sebutir apel jatuh. Kuabaikan apelnya. Amin Maalouf. Itu nama penulisnya. Aku tak pernah tahu.

Kupikir, daripada melamun kubalik-balik halaman buku itu. Aku tak seberapa suka dengan buku jenis ini. Mungkin isinya hal-hal yang absurd? Mungkin. Karena begitu aku baca di sinopsis bukunya di sampul halaman belakang. Ya, sudahlah.

Kunyalakan MP3 Player. Fiona Apple bersenandung lamat-lamat “Please Send Me Someone to Love”, sambil mulai kubaca buku temuanku itu.

Heaven please send to all mankind
Understanding and peace and mind
But if it's not asking too much
Please send me someone to love
Someone to love


Aku tenggelam dengan nyanyian dari MP3 itu. Aku tak pernah mengerti itu buku tentang apa, yang jelas itu buku cerita, namun aku tak pernah mengerti ceritanya tentang apa. Absurd, se absurd sinopsisnya

Kadang aku terkekeh sendiri dalam hati. Mungkin ini buku milik seorang laki-laki yang ketinggalan. Namun senyampang yang aku tahu, yang turun tadi dari kereta hanya beberapa ibu-ibu dan seorang gadis. Atau mungkin ini buku milik seseorang di stasiun sebelumnya yang tertinggal?

Pikiranku mengarah ke lagu Fiona Apple yang kuulang berkali-kali. Kalau memang ini buku milik seorang gadis, please don’t send her to be someone I love. Aku tak bisa lagi mengatasi keabsurdan yang dibuatnya, mengingat buku yang dibaca saja sudah absurd.