Pesawat

Kamis, 30 Juni 2011

Firasat, Bandara, dan Kepergian


katakan sesuatu untuk menahanku (udah gak bisa... bodoh!, udah melerr ingus gue)
dalam diam kau membunuh, langkahmu menjauh (emang mau gw nangis trus pesawatmu jatuh??)
mengapa kau tak menahan langkahku dibandara ini (emang mau gw g ngerelain trus... kenapa2 di atas??)
{Ribas-"Bandara" a monolog Drama Quen)

Sebenarnya itu status lelucon saya ketika saya posting di Facebook saya. Status ini pun sebenarnya rekonstruksi nyata kejadian beberapa tahun silam. Ceritanya, saya sedang mengantarkan kepulangan “seseorang” pulang ke asalnya. Sepertinya memang saya sendiri selalu dilanda ketakutan tersendiri kalau mengantar tamu atau orang yang saya anggap punya kedekatan dengan saya.

Kalau ditanya mengapa, ini ada kaitannya dengan faktor X. Saya menyebutnya intuisi. Ada yang menyebutnya kebetulan, ada juga yang menamai dengan firasat. Contoh nyata adalah ketika saya masih SD, saya seringkali jadi korban bullying teman-teman sekolah saya, mungkin ini ada faktor saya bertubuh kecil, dan menjadi murid termuda di antara teman-teman yang lain. Ada beberapa orang yang (mungkin kebetulan atau tidak) mendapat balasan atas perlakuan buruknya pada saya.

Saat saya kelas 4 ada sekelompok anak yang mencegat di jalan dan meminta paksa barang dan uang saya sepulang sekolah. Waktu itu memang saya sedang  pulang sendirian, setelah berhasil merampas jam tangan, uang saku serta sepeda saya, lelaki tiga anak seusia mungkin SMP karena saya masih melihat celana biru yang masih dipakai, tapi tanpa memakai seragam putih. Setelah mempreteli barang-barang saya mereka bertiga ngeloyor pergi, dan boleh percaya atau tidak, sebuah sepeda motor melintas, menyerempet salah satu anak itu. Anak itu mungkin pimpinan dari kelompok itu dan dia sedang memakai sepeda saya. Ia terjatuh. Melihat kesempatan itu saya langsung menghampiri orang yang menyerempet perampas barang-barang saya.

“Ini udah ngompas speda saya, pak” tunjuk saya sambil ngikik karena pengompas saya sempoyongan jatuh dari sepeda.Yah, mungkin akhir cerita itu, kita bisa menebak sendiri bukan?

Berkaitan dengan intuisi saya, saya akui juga sebenarnya sangat lekat pada keseharian. Terus terang, saya bukan anak yang suka belajar. Saya serius. Namun sangat mengherankan bahwa saya mencapai pendidikan yah dengan prestasi tidak ketinggalan dengan anak-anak yang lain. Rahasianya, saya selalu tahu areal-areal atau bahan-bahan apa saja yang diujikan. Yaa… tentunya saya harus menghapal cara dan latihan. Itu sebabnya saya tidak begitu pandai di mata pelajaran menghitung.

Intuisi saya juga peka terhadap hal-hal yang akan terjadi di masa depan. Bisa berupa tanda-tanda saja,, pada orang-orang terdekat atau yang saya anggap dekat dengan saya. Contohnya peraturan utama ketika jadi orang terdekat saya adalah apapun keadaannya “turuti saja apa kata saya”. Termasuk bila suatu ketika kalian berkunjung ke kota saya, dan menginap beberapa hari. Bila saya katakan pulang hari A, maka di hari itulah anda pulang. Entah apa yang terjadi, biasanya orang yang tetap ngotot pulang di hari yang saya perkirakan ada saja halangan-halangan yang terjadi. Padahal saya tidak pernah meniatkan mencelakai orang yang saya kasihi atau dekat dengan saya, bukan? Beberapa kali saudara yang datang, namun pulang dengan sedikit  rintangan. Kehabisan tiket, ketinggalan kereta/bis, bangun kesiangan sampai pernah kecelakaan.

Persoalannya adalah soal kerelaan. Dan saya adalah tipe orang yang tidak mudah merelakan seseorang untuk pergi. Yah kepergian adalah sesuatu yang teramat berat untuk saya hadapi.

Sekitar dua tahun yang lalu, intuisi itu saya berhasil patahkan.Saya berusaha menuruti kehendak “seseorang” yang akan pulang, meski itu berat. Entah bagaimana usaha saya, saya berusaha tidak menangis sampai ia berangkat. Saya berhasil, meskipun toh akhirnya saya menarik ujung baju bunda saya, karena akhirnya saya menangis pula di mobil setelah ia benar-benar pergi.

Jawabannya mungkin satu, saya tak mau terjadi apa-apa terhadap dirinya karena firasat saya.

Ketika saya bercerita pada salah satu teman saya, rasanya lagu Ribas- Bandara paling tepat menggambarkan momen tersebut. Jadi duh.. maaf untuk seseorang yang merasa (mungkin) sikap saya dingin. Sikap saya ini semata-mata karena rasa percaya saya terhadap intuisi saya.

sepi aku menyendiri
diantara keramaian
bersamamu menemani
dipenghujung hari

mgkn hati tak ingin pergi
bila kau yang menahan diri
tak terdiam,tak menbisu
lepas sudah aku meragu

jangan sampai hati
biarkan aku pergi
tersendat dan terlewati
masa yang terindah disini

katakan sesuatu untuk menahanku
jangan diam kau membunuh
langkahmu menjauh

mengapa kau tak menahan ku pergi saat cinta terbang kau sampai hati
mangapa kau tak menahan langkahku di bandara ini

aku menyadari aku tak berarti
kau tak lagi sedih ku tinggal pergi di bandara ini

Senin, 27 Juni 2011

Saya, Buku, "Donna-Donna", Terbang, Cinta dan Patah Hati

"Buku punya salah, apa?"

Saya pandangi lekat jawaban pesan pendek dari salah seorang saudara ketika mereka tahu, buku-buku saya (lagi-lagi) dijual karena emosi sesaat. Saya sedikit menahan nafas ketika itu "dijual" bukan dimusnahkan atau dibakar seperti yang sudah-sudah. 

Saya dan buku. Entah mengapa, saya merasa buku lah yang menemui takdirnya sendiri kepada saya. Entah apakah takdir itu juga berarti kehancurannya ketika ia di tangan saya. Yang saya tahu, buku dan saya memiliki ikatan tak terpisahkan. Kalian bisa temui saya di mana saja, tapi ketika saya menemui kalian, kalian juga harus menemui kekasih saya. Buku. Kami adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Kalian harus bersiap-siap cemburu dengannya.

Hubungan antara kami tak selalu mulus, banyak rintangan yang menghadang. Beberapa terang-terangan menentang hubungan kami. Saya juga sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini. Saya kebal, mati rasa. Mungkin saya bakalan sedikit bersedih-sedih, merambangkan airmata sekejap. Namun saya tahu pasti setiap hubungan tak pernah ada yang selalu mulus.

Saya pernah patah hati dengan beberapa buku, Rahasia Selma (RS) karya Linda Christanty, contohnya, juga ada sebuah novel, Syair Panjang Aceh (SPA) karya Sunardian Wirodono. Namun pertengkaran saya dengan "mereka" adalah saya jelaskan dengan musabab yang berbeda. RS tidak menarik lagi untuk saya, sedangkan SPA, saya terhenti pada suatu bagian yang saya sadar saya tak bisa menerimanya. Bagian itu adalah novel ini tidak bisa mengambil jarak dengan saya. Terlalu intim, terlalu banyak yang dicerabut dari kejadian yang saya alami.

Saya tak pernah menyerah pada hubungan yang sulit itu saja, maka saya pun teringat dengan sebuah kutipan,
Hidup akan berusaha untuk selalu menjatuhkanmu, namun kau akan selalu punya pilihan untuk bangkit kembali. (Quotd. Mr.Han; Jacky Chan, From The Karate Kid)
Membaca kutipan tersebut, saya jadi ingat sebuah lagu Joan Baez, yang kemudian dinyanyikan oleh Sita dalam film pergerakan GIE, begini kira-kira liriknya:


On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.

How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.

Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.

"Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?“ + Chorus

Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But who ever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly. + Chorus 


Saya tak akan pernah mau menjadi "Calves: anak sapi" yang mudah diombang-ambingkan, diserimpung. Saya adalah "Swallow : layang-layang" yang punya pilihan untuk bangkit dari serimpung itu. Saya mempunyai caranya sendiri untuk belajar memaknai dan mencari kebebasan.Saya belajar terbang dengan cara saya sendiri.

Sebuah, harta yang akan sulit didapat, namun saya yakin saya mampu. Sementara ketika saya menulis tulisan ini, saya lagi-lagi meraung. Akibat keteledoran saya memindahkan data, ada data-data penting mengenai tulisan-tulisan saya yang tidak bisa terselamatkan. beruntung beberapa sempat saya punya simpanan file nya di email. Sebuah tulisan singkat saya ketika saya belajar merentangkan kepak sayap saya di dunia kepenulisan pertama kalinya. *Scripta Magnent*

1) Masa Kecil “Perempuan ini”

Apakah anda pernah melihat film atau membaca bahkan mungkin tahu soal Xena? Yah, Xena ksatria perempuan yang mempunyai senjata cakram dan pedang, teman akrab Hercules legenda dari Yunani itu. Saat Perempuan ini masih berseragam merah-putih, perempuan ini sangat memujanya. Tentu saja, ini adalah plot yang dibangun televisi agar penikmatnya mencintai tokoh-tokohnya. Perempuan ini pun sangat mengaguminya.

Ketika Perempuan ini ditanyakan bagaimana persinggungannya dengan dunia tulis menulis. Maka Perempuan ini tidak segan-segan mengatakan bahwa tampaknya Perempuan ini ingin menjelmakan diri seperti Xena. Suatu kelekatan Perempuan ini, buku dan pena adalah sama dengan persinggungan Xena, pedang dan cakram.

Apakah ini anugrah atau kutukan? Versi nya tentu berbeda bila hal tersebut ditanyakan pada Perempuan ini dan orang tuanya. Orang tua nya sangat mensupport untuk memberi hadiah “pedang-pedang” dan “cakram”. Namun tentu lain cerita ketika mereka ditanyai soal apakah Perempuan ini diperkenankan menggunakan dan mempelajari senjatanya? Maka dengan tegas Perempuan ini mengatakan. TIDAK.

Marah, tentu. Sama dengan respon seorang musuh yang ingin tahu rahasia musuhnya, macam teori Sun Tzu katakan dalam The Art of War. Gejolak Perempuan ini untuk mencari tahu sebab ketidaksetujuan orang tua cukup membuat kegelisahan nya hilir mudik dalam riuh otak. Semakin terlarang, maka semakin tertantang lah ia. Boleh dibilang, Perempuan ini adalah pelaku vandalisme dari meja-meja kursi sekolah. Hal ini dilakukan karena orang tuanya hanya memperkenankannya menggunakan pedang dan cakram sebatas pada kurikulum sekolah. Selebihnya: TIDAK.

Melatiku

Di depan rumahku ada pohon melati
Kalau mekar cantik berseri
Kutanam di taman berjajar rapi
Melatiku kusiram setiap hari

Inilah tulisan pertama yang sangat dihapal Perempuan ini, saat kelas 4 SD dia mendapat tugas menulis puisi dari ibu gurunya. Dia hapal, karena puisi inilah satu-satunya guratan “pedang” yang diperkenankan oleh orang tuanya dituliskan pada “cakram” nya. Alasannya adalah, karena puisi ini masuk kurikulum sekolah, sementara nasib tulisan-tulisan vandalisme lainnya di bangku-bangku sekolah harus pupus dan luruh tidak dapat dia hapal, bahkan terdokumentasikan pun tampaknya sangat jauh dari angan-angan.

2) Hura-Hura Remaja, Ruang Sunyi “Perempuan ini”

Lika-liku remaja rupanya tak akan mudah dipisahkan dengan romansa “cinta-cinta” an yang mereka alami. Apa yang dilakukan Perempuan ini saat remaja? Punya kekasih? Iya, benar punya, dia memang punya beberapa lelaki yang secara sembunyi ataupun nyata-nyata mengasihi ataupun dikasihinya. Namun bukan itu yang ingin dia ceritakan, ia ingin bercerita tentang kekaguman dan proses “cinta-cinta”annya terhadap objek bahasan lain. Yaitu, tulisan yang terdiri dari elemen kata-kata yang terangkai sebagai alat ekspresi kegundahan dan kegelisahan.

Sebuah grup musikalisasi puisi, Sanggar Matahari DEAVIES namanya. Dari sana ia diberi kesempatan lagi-lagi untuk mengawinkan senjatanya. Pedang dan cakram, kemudian ia menyadari ia mempunyai senjata lain, senjata itu adalah cambuk. Perempuan ini mengetahui suatu harmonisasi “ajaib” dari perpaduan unsur pena, buku dan musik dari sebuah grup musikalisasi puisi ini. Berawal dari sebuah konser Sanggar Matahari, sebuah grup yang beranggotakan 4 bersaudara dari Medan sebagai tim inti, di Surabaya saat perempuan ini masih duduk di kelas 1 SMA, aura keingintahuannya pun terpompa. Ia datang, ia lihat, kemudian ia jatuh cinta padanya. Puisi yang dielaborasi dengan instrument musikal. Musikalisasi puisi.

Perempuan itu kini menyadari senjata barunya berupa cambuk. Cambuk yang sudah bertahun-tahun ia akrabi, ternyata bisa dikawinkan dengan senjata-senjatanya sebelumnya “pedang dan cakram” . Cambuk itu adalah musik. Orang tuanya sudah akrab dengan musik, dan akhirnya perempuan ini menganggap ia mempunyai celah untuk masuk lebih intim ke dunia seni, layaknya ia telah lebih dahulu intim dengan pedang dan cakramnya. Ia mempunyai pemikiran bahwa musik bisa menjadi jembatan, agar orang-orang yang belum membuka diri untuk memahami kesukaannnya sedikit demi sedikit membuka diri atas kesukaannya itu. Ia hanya teringat filosofi Sunan Kalijaga, menyebarkan kebaikan lewat ajaran-ajaran yang telah dimengerti sebelumnya oleh si penerimanya, dalam hal ini wayang, yang ia analogikan sebagai musik.

Tulisan-tulisan yang ia buat, kemudian tidak akan pernah menghilangkan kesan lagu. Yah, ia selalu membayangkan kalau tulisan-tulisan tersebut bila dibacakan akan mempunyai kesan mendayu seperti lagu. Lirih saja, karena ia tak suka dengan orang-orang yang berteriak-teriak seperti orang tuanya di hadapannya, atau seperti orang-orang yang membelenggunya dengan aturan. Ia ingin melepaskan itu semua, mencari kedamaian dengan irama tulisan yang tidak terlalu berat dipikirkan, dicerna, dan mengobati kekesalan, sembari menyuarakan kegundahan.

Sayang, akibat pemusnahan beberapa catatan hariannya, ia tidak menemukan secuil tulisan pun yang ia catatkan, ia juga tidak mengingatnya. Yang jelas ia hanya mengingat satu buah sajak Taufiq Ismail (Karangan Bunga) dan satu buah sajak Chairil Anwar (Tuhanku) yang ia rekam di atas kaset model lama, yang kemudian ia yakini sebagai salah satu tampilan musikalisasi puisi. Dari sana, dengan berbekal nilai raport, esei sederhana, dan rekaman kaset itu, ia mendaftar ke salah satu institut seni lumayan besar di jantung ibukota. Apa yang terjadi?

3) Memahami, Merencanakan Masa Depan dan Proses Pendewasaan Diri "Perempuan Ini"

Meski ia berhasil memegang kunci untuk masuk institut itu, lagi-lagi sebuah aral di depan menghadang. Ia gagal menempuh studi di sana, dan kemudian memilih jalur alternatif pendidikannya saat ini. Ia ingin lebih memahami manusia-manusia yang tidak mengerti keinginannya. Meski begitu, catatan ini bisa menjadi catatan tersendiri bagaimana rumitnya melumpuhkan stigma ketidaksetujuan orang-orang tersebut terhadap dirinya.

Ia kemudian mengenal jalur maya, kekuatan internet dan situs-situs penulis pemula semacam kemudian.com, membuatnya mengenal seseorang sahabat yang mengenalkan dia tentang apa dan bagaimana menulis. Bersama mereka menjalin persahabatan, sekaligus kompetitor dan mitra kreatif satu sama lain. Mereka kemudian bersama-sama menggagas suatu kelompok jaringan menulis sendiri, belajar dari penulis-penulis yang telah terlebih dahulu terjun ke dunia ini. Mereka ingin belajar, dan menulis itu saja. Satu persatu rekan mereka bergabung dan mereka membentuk keluarga. Perempuan ini dan rekan-rekan mereka menyebut keluarga mereka adalah ESOK, sebuah Komunitas sastra yang tidak hanya individual menjaga keberlangsungan proses kreatif namun juga ingin terjun dalam gerakan nyata seperti amuba, menulari individu dan komunitas lain untuk membagi efek keceriaan keluarga mereka ke masyarakat kecil mereka lewat aktivitas baca diri, menulis diri dan sebagainya.

Perempuan ini hanya ingin mencurahkan apa yang ada di otak, apabila ada yang menganggap ini sebagai tulisan yang memiliki suatu nilai "sastra". Ia hanya menganggap semua orang berhak mengapresiasi satu dengan yang lain. Cinta, semangat, idealisme, keterbukaan dan curahan hati adalah balutan yang benar-benar ia kedepankan. Tak ada yang ingin ia tutupi. Karena ia percaya, ketika kita membuka diri kepada orang lain, maka orang lain akan mau berbagi dengan kita. Bukan kah itu suatu harmoni yang indah?

Sangat jarang ia temui, orang yang mengeluh "aku nggak ngerti maksud tulisanmu". Meski ia pun tak menafikkan ada beberapa orang yang merasa seperti itu.

Maka, kemudian inilah Saya, sang "Perempuan ini".

Dengan melihat uraian proses memaknai hidup saya, maka saya mulai paham dengan tulisan saya. Sekali lagi, belum lah pantas proses kreatif yang sekedar curahan hati saya diapresiasi sedemikian takjubnya seperti tebaran-tebaran mutiara contohnya, di jalur facebook atau kemudian.com misalnya, dengan tataran teoretis sastrawi. Saya menulis dengan hati dan rasa. Teori sastrawi saya masih berusaha belajar. Ya tentu saja, ini dikarenakan saya sendiri bukan berasal dari disiplin sastra.

Apakah kemudian saya menjadi penulis, penyair atau tetekbengeknya?

Wah... itu nanti dulu. Saya pernah paham ada satu kutipan Arswendo Atmowiloto yang termaktub dalam film Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Saya Monyet. "Kamu boleh berhenti atau tak menjadi Penulis, tapi jangan sampai kamu berhenti menulis". Maka, inilah yang saya lakukan, saya hanya orang yang BUKAN Penulis, Penyair atau tetek bengeknya yang hanya sekedar menulis mencurahkan kata hati, pikiran dan perasaan saya. Saya bukan tidak memperbolehkan orang menganggap saya, menautkan saya dengan label-label tersebut. Tapi dengan keterbatasan saya, saya merasa saya masih belum layak dengan pelabelan tersebut.

Terimakasih, atas segala apresiasinya....


Nisa Ayu Amalia
Sby, 120909

*"Pengarang itu korps avant garde, bukan menghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya”

oleh Pramoedya Ananta Toer

Minggu, 26 Juni 2011

Cinta, Romantisme, Terbang, Harapan dan Melankolia

Seorang sahabat saya mengatakan bahwa,

Apabila seseorang yang telah membuatmu tersentuh dalam kondisi apapun itu, sesedikit pun itu, kau tidak mungkin menafikkan. Ia telah membuat perubahan dalam dirimu, apapun itu, sesedikit pun itu.

Kata-kata ini mungkin juga serupa dengan kutipan dialog batin Stacy tokoh dalam film Little Black Book di bagian hampir akhir film tersebut :
“Bagaimana mungkin seorang anak perempuan tidak berubah ketika ia masuk ke lubang kelinci kekacauan? Jawabannya, ia pasti berubah”
Masih ingat alegori Alice in a Wonderland kan? Yah, Alice yang masuk ke lubang kelinci ternyata masuk ke lubang lingkaran kerajaan yang semakin lama ia masuk ke sana ia tak akan bisa keluar. Tentu saja sekali nya ia keluar, ia akan menjadi pribadi yang berbeda.

Saya mau meninggalkan Alice, Little Black Book sejenak, bagaimana ketika kita terperosok dengan sesuatu hal yang namanya Cinta. Saya juga tidak mengerti juga arti cinta seperti apa, mungkin juga itu cinta ketika saya membaca kisah nyata ini.

Ciuman Maut Liu Mampu Luluhkan Niat Bunuh Diri Pemuda Cina

RepublikaRepublika – Sab, 25 Jun 2011
REPUBLIKA.CO.ID, SHENZEN - Liu Wenxiu mendadak populer di Cina. Gadis 19 tahun ini berhasil menggagalkan upaya bunuh diri yang dilakukan seorang pemuda dengan ciuman mautnya.

Ceritanya, hari itu dia pergi berbelanja bersama teman-temannya ke sebuah pusat perbelanjaan ramai di Shenzhen, Provinsi Guangdong. Saat tengah makan di sebuah restoran, mereka menemukan kerumunan pengunjung mal. Rupanya, mereka tengah menonton seorang pemuda yang hendak mengiris lehernya dan terjun dari ketinggian.

Liu melihat, tak seorangpun yang berusaha membujuk sang pemuda. Bahkan, polisi di sekitarnya pun hanya berjaga-jaga saja.

Liu berlari mendekat. Polisi menghalanginya.

Tak kehilangan akal, ia mengaku sebagai pacar sang pemuda, dan pemuda itu hendak bunuh diri karenanya. Padahal, itu hanya cerita karangan Liu saja. "Saya hanya ingin mendekat padanya, mengajak bicara, dan syukur-syukur dia mengurungkan niatnya," katanya.

Ia mendekat. Dari obrolan, diketahui pemuda itu putus asa karena keluarganya berantakan. Sebagai anak hasil broken home, ia memahami perasaan sang pemuda. Mereka pun terlibat dialog.

Entah apa yang mereka bicarakan, yang jelas hati pemuda itu makin melunak. Liu kemudian berjalan perlahan mendekatinya, merangkulnya, dan kemudian menciummnya. Sang pemuda menjatuhkan pisau, dan membiarkan petugas pemadam kebakaran membantunya melompati pagar, menyelamatkan dirinya.

Apa yang mereka perbincangkan? Liu tutup mulut. "Ceritanya menyentuh saya. Tapi tiba-tiba saya merasa saya sangat memahaminya dan serasa saya adalah pacarnya," ujarnya, tersipu. So Sweet!

Atau mungkin ketika saya membaca cerita ini, maka ini kah cinta yang dimaksud?

Wanita Prancis Nikahi Jenazah Sang Tunangan

Liputan 6Liputan 6 – Jum, 24 Jun 2011
Liputan6.com, Prancis: Seorang wanita asal Prancis cinta mati kepada kekasihnya, hingga tetap menikahi jasad tunagannya di kuburan. Seperti diwartakan Dailymirror, Jumat (23/6), Karen Jumeaux tetap menikah dengan  Anthony Maillot yang telah meninggal dua tahun lalu.
Mereka bertunangan 2007 silam. Tapi, Anthony tewas 2009 silam akibat kecelakaan. Sejak itu, Karen berusaha untuk tetap menikahi tunangannya, meskipun harus melakukan berbagai cara, termasuk meminta persetujuan dari Presiden Perancis Nicolas Sarkozy.
Akhirnya Karen bisa menikah dengan Anthony karena mendapatkan jaminan khusus. Dengan mengenakan gaun putih, Karen menikah di tempat Anthony dimakamkan di Dizy-le-Gros, Perancis Timur, disaksikan oleh keluarga dan teman dekatnya. Karen dan Anthony telah memiliki satu putra. Anthony meninggal sebelum hari pernikahannya.
"Anthony adalah cinta pertama dan terakhir saya. kami telah bersama selama empat tahun. Sekarang, saya adalah isterinya. Saya akan selalu mencintainya," ungkap Karen sambil menitikkan air mata. Ia menambahkan, seharusnya ia bisa membesarkan anak dengan Anthony, tapi takdir berkata lain.
Pakar hukum Prancis mengatakan bahwa Karen ingin menikah lagi, wanita berusia 22 tahun itu harus tetap melayangkan gugatan cerai. (Vin)
Cinta apapun dalilnya tak akan mudah didefinisikan, karena semakin rumit kita menjelaskan, semakin tidak jelas juga pemahamannya.

Saya sendiri percaya cinta adalah untuk menginginkan dan diinginkan, dan lebih dari itu, adalah untuk mempertahankan. Sayangnya tak semua harapan bisa menetap dan bertahan. Cinta tidak akan takhluk pada hukum kepemilikan, karena kita semua sejatinya tidak memiliki apa-apa. Maka, ketika saya mendengarkan lagu Gigi – Terbang, yang bunyi liriknya seperti demikian,
Terbang - GIGI
Terpikir... dan terpana
Dan terdiam... ku melihat
Sadarku... bertahun
dan bersama... terwujudlah ah...

Reff: Terbayang... yang terindah
Yang terhampa... berlalulah
Sadarku... semuanya
Perasaan... rasa cinta ah...

Kaulah yang dinginkan aku
Dari mimpiku dari mimpiku uoohh..
Coba terbangkan anganku
Dari sadarku ...

Back to reff.
Reff # : Kaulah yang dinginkan aku
Dari mimpiku dari mimpiku uohh..
Coba terbangkan anganku
Dari sadarku dari sadarku..

Back to reff #
Cinta kadang membuat kita terbang untuk menggapai  apa yang kita inginkan, namun juga akan melemparkan kita sejauh yang mereka mau karena cinta juga sebuah hasrat yang punya sayap. Bisa terbang bahkan lenyap, seperti gelembung sabun. Dari gelembung sabun, otak saya malah melayang dan membuat tulisan ini. Tidak jelas, mungkin saya sedang dilanda melankolia.
Tentang Sajak Romantis yang Sama Sekali Tak Romantis
: kepada "ia"
sajak romantis tak perlu datang dari tempat yang romantis. tak perlu ada hutan, tak perlu ada laut, tak perlu ada senja, tak perlu ada gerimis, tak perlu ada gunung, tak perlu ada angin dan tak perlu ada rerumput. tak perlu kau setubuhi malam, tak perlu meratap dinding kamar.

mungkin sajak romantis adalah seraut wajahku yang kau duduki tepat di sisi pantatmu. bagaimana? seraut wajah yang kau tangkap dari kamera kemudian kau selipkan di saku dompetmu. dari sisi itu mungkin aku menjadi sesuatu yang menemanimu kemana saja.

sajak romantis tak perlu datang dari tempat yang romantis. tak perlu ada hutan, tak perlu ada laut, tak perlu ada senja, tak perlu ada gerimis, tak perlu ada gunung, tak perlu ada angin dan tak perlu ada rerumput. tak perlu kau setubuhi malam, tak perlu meratap dinding kamar.

bagaimana kalau sajak romantis lahir dari kamar mandi. aku bayangkan, kita mandi berdua, dengan ditemani sabun dan busa yang menggelembung terbang. aku jadi iri dengan sabun, karena ia memahami lekuk tubuhmu jauh daripada aku. ia paham tiap sudut letakan tahi lalatmu, dakimu, kutu airmu. mungkin ia yang paling paham aroma keringatmu. dan khayalanku mungkin hanya menjadi balon sabun pecah diruap angkasa mimpi.

sajak romantis tak perlu datang dari tempat yang romantis. tak perlu ada hutan, tak perlu ada laut, tak perlu ada senja, tak perlu ada gerimis, tak perlu ada gunung, tak perlu ada angin dan tak perlu ada rerumput. tak perlu kau setubuhi malam, tak perlu meratap dinding kamar.

cukup ada kau dan aku, meski dalam bayangan kepala-kepala kita yang berputar, mencari tempat-tempat yang kita inginkan. bahkan itu di kolong tempat tidur sekalipun, di atas jembatan, di warung kaki lima, atau mungkin dalam ruang imajinasi kita

kau dan aku, adalah sajak romantis yang pernah tercipta

Sabtu, 25 Juni 2011

Taman Daun, "Jingga", ESOK, Halte Sastra dan Rindu

Lepas Senja Taman Daun, dinyanyikan Gita Pratama
Lepas Senja Taman Daun

: jingga


kaki yang menjejak paving taman kota
membaur musik senja perlahan surut
ada nyanyi sorai koor anak-anak daun
lirih mengurai bisik angin ragu

sebuah pesan diterbangkan kepak burung
pulang ke sarang mengalungi jingga

sungguh jingga,
aku ingin menjadi burung-burung itu
merengkuhmu malu-malu dalam rindu
mengalungkan peluk ke luasan tubuhmu

sby, 050509
*taman daun

Entah ini termasuk nominasi project lagu yang hari keberapa. Lagu ini dahulunya adalah puisi yang aku buat sendiri, nadanya pun aku karang-karang sendiri dengan gitar akustik sederhana.

Puisi ditulis karena ia menginginkannya, karena ia ditakdirkan terlahir.


Maka alkisah, ketika saya diributkan dengan persiapan acara komunitas seni saya, ESOK, kami melatih anak-anak kampung di sekitaran Taman Bundaran Dolog, A. Yani Surabaya, sajak ini lahir. Mak-prucut...? Begitu saja...? Tidak.

Waktu itu saya asyik dengan melankolia. Menyaksikan benar-benar senja yang rambang di sana. Taman ini sebelumnya tidak bernama sebegitu indah jadi Taman Daun, sebenarnya. Namun, ada seorang anggota yang memberi nama demikian karena terilhami oleh pantulan monumen di sana yang membias seperti daun. Simetris membentuk dua sisi tulang daun yang sama.

Saya menyaksikan laju burung-burung pulang yang seakan-akan memeluk langit senja. Saya jadi rindu "jingga" penyebutan seseorang yang saya sebut dalam doa saya, tidak munafik saya cinta.

Bulan Agustus kalau tak salah, baru saya menyisipkan nada dalam puisi tersebut. Puisi tersebut kemudian dibawakan pertama kali ketika acara Halte Sastra (sayang pada saat itu saya terbaring di rumah sakit), dan akhirnya Gita Pratama teman saya di ESOK menyanyikan musikalisasi puisi tersebut di malam "Halte Sastra". Halte Sastra sebenarnya merupakan acara temu penulis pemula (yang kemudian mereka sebut dengan sastrawan muda) Jawa Timur. Entah bagaimana prosesnya, saya masuk dalam list mereka. Padahal saat itu sajak Gita Pratama sudah masuk menasional.

Bagi saya sajak ini punya ruh "kepak sayap" saya yang pertama. Yang membawa saya "terbang" menuju dunia yang saya sebelumnya tak tahu menahu. Sastra dan kepenulisan. Juga mungkin... cinta.

Day 15, Burung Layang-Layang : Kisah Buruh Migran yang Berkelana



Burung Layang-Layang
by : Tasya

tampak jelas di langit biru jernih
sekawan burung layang-layang
dengan akrab terbang beriring-iring
dengan bebas melayang-layang

sungguh senang mereka terbang
turun naik berkeliling
berkejaran tak hentinya
damai tenang bercengkrama

Penggalan lagu ini sebenarnya merupakan lagu anak-anak yang riang. Namun entah ketika saya mendengarkan yang ada justru perasaan terasing dan menginginkan suatu kebersamaan dan kebebasan seperti yang didengungkan liriknya. Burung Layang-Layang, seperti layaknya nama identitas yang saya pilih merupakan simbol kebebasan, kekuatan dan ketertarikan untuk melakukan perjalanan jauh demi apa yang dicapainya.

Bebas berarti Sendiri, Atau...?

Saat terbang apakah kita benar-benar punya kawan? Jangan-jangan tidak. Saya jadi ingat curahan hati teman-teman ketika memulai perjalanan ke luar negeri (lebih-lebih) untuk yang pertama kalinya. Apakah mereka paham lingkungan mereka yang baru? Apakah mereka mampu membangun pertemanan dengan orang-orang baru di negerinya kemudian? Apakah mereka mendapatkan apa yang mereka harapkan.

Alkisah, buruh migran yang mencoba menjadi burung Alang-Alang. Mereka adalah pejuang tangguh, menempuh perjalanan jauh, dengan memakai "sayap" (kemampuan) kecil mereka. Meninggalkan sanak keluarga, tanah kelahiran dan serta penghidupan yang telah mencukupi mereka hingga mereka berangkat.

Saya menjadi sangat sentimentil hari-hari ini untuk soal keterasingan, kesendirian dan soal meninggalkan tanah kelahiran. Memilih untuk pergi itu semua apakah suatu hal yang mereka inginkan? Bukankah hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang? Itu kata pepatah...

Baik, sekarang kita membicarakan bukan satu-dua orang pejuang namun jutaan pejuang di luar negeri.Dalam UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan BAB VI Pasal 31 disebutkan bahwa
"Setiap tenaga kerja mempunyai hak dan kesempatan yang sama untuk memilih, mendapatkan, atau pindah pekerjaan dan memperoleh penghasilan yang layak di dalam atau di luar negeri."
Kalau begitu mengapa mereka tidak cukup dengan berada di dalam negeri saja? Dan kenyataannya, kesempatan tak pernah 'sama' untuk para Buruh Migran Indonesia (BMI). Ketika mereka bermasalah, seakan semua pihak cuci tangan membiarkan mereka 'sendiri'. Mungkin berbeda ketika mereka 'terbang' untuk berangkat dan 'terbang' untuk pulang. Kepergian mereka akan disambut dengan calo dan oknum yang memeras tidak hanya materi namun juga kehormatan mereka. Dan ketika mereka pulang dengan membawa masalah, mereka akan kembali sendiri.

Dan apakah Buruh Migran Indonesia yang 'terbang', tidak mempunyai takdir seperti yang dilukiskan oleh lagu "Burung Layang-Layang" ini?
"Damai tenang bercengkrama"
.....

Day 29 : Sherina, Balon Udara, Mimpi Masa Kecil dan Film Klasik

The Hindenburg (1975): “Perangkap” Balon Udara (Resensi Film)

Disutradarai : Robert Wise
Diproduksi : Robert Wise

Ditulis : Nelson Gidding
Richard Levinson
William Link

Dibintangi : George C. Scott
Anne Bancroft
Musik oleh : David Shire
Pembuatan film : Robert Surtees
Editing oleh : Donn Cambern
Didistribusikan oleh : Universal
Tanggal rilis (s) : 25 Desember 1975
Durasi : 125 menit
Negara : Amerika Serikat
Bahasa : Inggris


...Langit biru
Awan putih
Terbentang indah
Lukisan yang kuasa

Ku melayang
Diudara
Terbang dengan balon udaraku


Oh sungguh senangnya lintasi bumi
Oh indahnya dunia...



Begitulah tangkapan pengalaman dalam penggalan lagu “Balon Udara” yang dibawakan oleh Sherina. Entah apa yang dipikirkan oleh Zeppelin ketika menciptakannya. Menerbangkan hampir ratusan nyawa dalam “perangkap” gas helium yang mudah terbakar, tentu sebuah resiko yang harus dibayar. Dalam masa kejayaan NAZI, melayang-layang di udara, terbang bebas menyaksikan pemandangan daratan adalah salah satu impian yang tidak mudah dilakukan. Zeppelin kemudian di era tahun 1937, mewujudkan salah satu caranya. Namun ternyata, impian dan penemuannya itu dimanfaatkan oleh NAZI sebagai sebuah usaha propaganda menunjukkan kebesaran dan kejayaan imperiumnya. Apapun bisa terjadi bila berbicara soal potitik. Dan latar belakang tersebut yang dicoba dielaborasi sebagai cerita, mewarnai tragedi sejarah perjalanan salah satu alat transportasi udara ini.

Salah satu tragedi yang akan tercatat adalah tragedi balon udara Hindenburg, balon udara kebanggaan Jerman masa NAZI berjaya ini tercatat terbang di tanggal 6 Mei 1937 dan dikomandani oleh Kapten Max Pruss

Hindenburg, nama balon udara itu, berangkat dari keyakinan NAZI akan kemegahan dan kecanggihan bangsa Jerman. Menampung 97 penumpang dan puluhan awak dari daratan Jerman, ia membelah langit dengan gagah bersama kibaran logo “swastika di bagian sirip, melintasi Atlantik menuju Lakehurst, New Jersey.

Sebagai film yang dibuat di era tahun 1970 an The Hindenburg mencoba menangkap tragedi nyata tersebut. Sinematografinya memadukan tekhnik pengambilan gambar dari hitam-putih menuju ke multi-warna dan kembali lagi ke hitam-putih. Tekhnik ini merupakan salah satu terobosan kreatif yang tentu mempunyai maksud dalam pijakan jalan cerita keseluruhan. Pemirsa diajak untuk kembali ke masa silam, kemudian ketika bergerak di inti cerita maka sinematografi diubah menjadi multi warna dan kemudian kembali ke hitam putih lagi saat tragedi terjadi.

Tak hanya itu, kerangka dari balon udara dibuat sedemikian rupa mendekati aslinya dengan budget yang tak main-main banyaknya. Yang kemudian di akhir cerita replika kendaraan itu harus dikorbankan dibakar seperti layaknya tragedi nyatanya. Tak salah bila kemudian Academy Award tahun 1976 menganugerahi dengan nominasi Sinematografi terbaik, Best Art Direction, Suara Terbaik dan tentu saja tidak mengesampingkan keberhasilan film ini pada Peter Berkos untuk Efek-efek suara, juga Albert Whitlock dan Robinson Glen untuk Efek Visual.

Bila boleh membandingkan, adegan demi adegan mengingatkan adegan film Titanic di era 2000-an. Jadi bayangkan, bila di era tahun 1975 sudah mampu membuat film semegah Titanic di era 2000 an. Film ini layak mendapat kredit title sebagai film yang cukup revolusioner dalam pijakan sinematografi dan efek visual maupun audio.

Tipikal “Amerika”

Dibuat sebagai rekonstruksi peristiwa sejarah atas meledaknya Hindenburg secara misterius, jalan cerita serta plot yang dibangun di dalamnya dibuat dengan konsep fiksi, termasuk plot sabotase yang menjadi inti cerita. Tidak hanya memuat rekonstruksi meledaknya Hindenburg sebagai klimaks, The Hindenburg juga sebenarnya memasukkan tragedi Graf Zeppelin dan mengganti nama beberapa nama tokoh yang termasuk dalam daftar korban. Tidak hanya itu beberapa nama tokoh pun ditambahkan.

Apa yang tersaksikan adalah bagaimana pola pikir industri perfilman Amerika memandang sejarah tragedi penerbangan Jerman-NAZI. Dalam kebanyakan film produksi Amerika syarat yang kerap terlihat adalah harus mempunyai aktor hero yang menonjol.

Kali ini tokoh utamanya Kolonel Franz Ritter berusaha menyelidiki benar atau tidaknya ancaman bom Kathie Rauch yang mengirimkan surat ke Kedutaan Besar Jerman di Washington DC. Kathie menyatakan bahwa Hindenburg akan meledak setelah mencapai New York. Bersama Martin Vogel, yang adalah seorang perwira Gestapo, Ritter memata-matai penumpang juga awak kabin dan menyisir berbagai kemungkinan pelaku peledakan Hindenburg. Mereka melakukan penyamaran dengan berpura-pura menjadi fotografer.

Kathie Rauch tidak sepenuhnya salah, Boerth, seorang anti-NAZI, salah satu awak kabin, merencanakan sebuah aksi sabotase. Ia meletakkan sebuah bom di sebuah partisi tambalan balon. Dengan serangkaian aksi penyelidikan, detektif-detektif-an, kait mengkait fakta, Ritter mengetahui maksud Boerth. Bukan menangkap boerth, tapi Ritter malah bersimpati karena alasan Ritter merencanakan aksi peledakan bunuh diri karena ia ingin membungkam NAZI dengan alat symbol kejayaannya, balon udara Hindenburg. Boerth malah mengajak Ritter membantunya dengan meminta informasi kapan balon udara dikosongkan. Ritter memang menerima usul Boerth asalkan ada jaminan bahwa tidak ada korban nyawa sipil yang dikorbankan atas aksi tersebut. Ia kemudian juga memberitahukan sebuah perkiraan waktu, bila Boerth dapat menjalankan aksinya yaitu sekitar jam setengah 8 malam. Penunjuk waktu bom akhirnya disetel pada waktu tersebut. Malangnya, karena cuaca buruk Hindenburg baru merapat di New Jersey pukul 19.15 dan penumpang belum juga mendapat perintah untuk turun. Sesuai waktu yang disetel pada pukul setengah 8 malam, Hindenburg meledak. Dan memberangus simbol kemegahan intelektual Jerman-NAZI.

Era tahun 70 an erat kaitannya dengan masa-masa kejayaan dari film detektif spionase, sebut saja James Bond. Hero yang satu ini berpakaian klimis, sisir belah pinggir samping dan minyak rambut. Jangan lupa dengan dandanan necisnya. Bagaimana dengan tokoh-tokoh Hindenburg? Seperti itulah dandanannya, sebut saja jas necis khas James Bond lekat menempel, sangat jauh dari kesan kumal masa resesi tahun 1930-an akhir. Yah mungkin saja hal itu karena penumpang Hindenburg adalah orang-orang kaya.

Selebihnya, ini adalah film megah nan mahal, meski di kalangan publik sendiri berkembang banyak kritik mengenai kegagalan membangun plot cerita yang cambur baur memadukan fiksi dengan sejarah. Banyak logika jalan cerita yang janggal dan luang, bahkan unsur sejarah sendiri pun banyak mengikutsertakan tragedi sejarah lain, yang entah disengaja atau tidak alih-alih sebagai dramatisasi cerita, namun malah mengaburkan sejarah yang ada. Seharusnya hal tersebut tidak boleh terjadi bila penulis skrip tetap konsisten mempertahankan judul “The Hindenburg” yang sudah lekat dengan peristiwa sejarah. Karena film bisa juga merupakan sebuah dokumentasi sejarah, apa jadinya bila sejarah diputarbalikkan, dikarang-karang bahkan memasukkan unsur cerita lain yang sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan cerita aslinya.