Pesawat

Senin, 27 Juni 2011

Saya, Buku, "Donna-Donna", Terbang, Cinta dan Patah Hati

"Buku punya salah, apa?"

Saya pandangi lekat jawaban pesan pendek dari salah seorang saudara ketika mereka tahu, buku-buku saya (lagi-lagi) dijual karena emosi sesaat. Saya sedikit menahan nafas ketika itu "dijual" bukan dimusnahkan atau dibakar seperti yang sudah-sudah. 

Saya dan buku. Entah mengapa, saya merasa buku lah yang menemui takdirnya sendiri kepada saya. Entah apakah takdir itu juga berarti kehancurannya ketika ia di tangan saya. Yang saya tahu, buku dan saya memiliki ikatan tak terpisahkan. Kalian bisa temui saya di mana saja, tapi ketika saya menemui kalian, kalian juga harus menemui kekasih saya. Buku. Kami adalah sepasang kekasih yang tak terpisahkan. Kalian harus bersiap-siap cemburu dengannya.

Hubungan antara kami tak selalu mulus, banyak rintangan yang menghadang. Beberapa terang-terangan menentang hubungan kami. Saya juga sudah terbiasa dengan hal-hal semacam ini. Saya kebal, mati rasa. Mungkin saya bakalan sedikit bersedih-sedih, merambangkan airmata sekejap. Namun saya tahu pasti setiap hubungan tak pernah ada yang selalu mulus.

Saya pernah patah hati dengan beberapa buku, Rahasia Selma (RS) karya Linda Christanty, contohnya, juga ada sebuah novel, Syair Panjang Aceh (SPA) karya Sunardian Wirodono. Namun pertengkaran saya dengan "mereka" adalah saya jelaskan dengan musabab yang berbeda. RS tidak menarik lagi untuk saya, sedangkan SPA, saya terhenti pada suatu bagian yang saya sadar saya tak bisa menerimanya. Bagian itu adalah novel ini tidak bisa mengambil jarak dengan saya. Terlalu intim, terlalu banyak yang dicerabut dari kejadian yang saya alami.

Saya tak pernah menyerah pada hubungan yang sulit itu saja, maka saya pun teringat dengan sebuah kutipan,
Hidup akan berusaha untuk selalu menjatuhkanmu, namun kau akan selalu punya pilihan untuk bangkit kembali. (Quotd. Mr.Han; Jacky Chan, From The Karate Kid)
Membaca kutipan tersebut, saya jadi ingat sebuah lagu Joan Baez, yang kemudian dinyanyikan oleh Sita dalam film pergerakan GIE, begini kira-kira liriknya:


On a waggon bound for market
there`s a calf with a mournful eye.
High above him there`s a swallow,
winging swiftly through the sky.

How the winds are laughing,
they laugh with all their might.
Laugh and laugh the whole day through,
and half the summer`s night.

Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.
Donna, Donna, Donna, Donna; Donna, Donna, Donna, Don.

"Stop complaining!“ said the farmer,
Who told you a calf to be ?
Why don`t you have wings to fly with,
like the swallow so proud and free?“ + Chorus

Calves are easily bound and slaughtered,
never knowing the reason why.
But who ever treasures freedom,
like the swallow has learned to fly. + Chorus 


Saya tak akan pernah mau menjadi "Calves: anak sapi" yang mudah diombang-ambingkan, diserimpung. Saya adalah "Swallow : layang-layang" yang punya pilihan untuk bangkit dari serimpung itu. Saya mempunyai caranya sendiri untuk belajar memaknai dan mencari kebebasan.Saya belajar terbang dengan cara saya sendiri.

Sebuah, harta yang akan sulit didapat, namun saya yakin saya mampu. Sementara ketika saya menulis tulisan ini, saya lagi-lagi meraung. Akibat keteledoran saya memindahkan data, ada data-data penting mengenai tulisan-tulisan saya yang tidak bisa terselamatkan. beruntung beberapa sempat saya punya simpanan file nya di email. Sebuah tulisan singkat saya ketika saya belajar merentangkan kepak sayap saya di dunia kepenulisan pertama kalinya. *Scripta Magnent*

1) Masa Kecil “Perempuan ini”

Apakah anda pernah melihat film atau membaca bahkan mungkin tahu soal Xena? Yah, Xena ksatria perempuan yang mempunyai senjata cakram dan pedang, teman akrab Hercules legenda dari Yunani itu. Saat Perempuan ini masih berseragam merah-putih, perempuan ini sangat memujanya. Tentu saja, ini adalah plot yang dibangun televisi agar penikmatnya mencintai tokoh-tokohnya. Perempuan ini pun sangat mengaguminya.

Ketika Perempuan ini ditanyakan bagaimana persinggungannya dengan dunia tulis menulis. Maka Perempuan ini tidak segan-segan mengatakan bahwa tampaknya Perempuan ini ingin menjelmakan diri seperti Xena. Suatu kelekatan Perempuan ini, buku dan pena adalah sama dengan persinggungan Xena, pedang dan cakram.

Apakah ini anugrah atau kutukan? Versi nya tentu berbeda bila hal tersebut ditanyakan pada Perempuan ini dan orang tuanya. Orang tua nya sangat mensupport untuk memberi hadiah “pedang-pedang” dan “cakram”. Namun tentu lain cerita ketika mereka ditanyai soal apakah Perempuan ini diperkenankan menggunakan dan mempelajari senjatanya? Maka dengan tegas Perempuan ini mengatakan. TIDAK.

Marah, tentu. Sama dengan respon seorang musuh yang ingin tahu rahasia musuhnya, macam teori Sun Tzu katakan dalam The Art of War. Gejolak Perempuan ini untuk mencari tahu sebab ketidaksetujuan orang tua cukup membuat kegelisahan nya hilir mudik dalam riuh otak. Semakin terlarang, maka semakin tertantang lah ia. Boleh dibilang, Perempuan ini adalah pelaku vandalisme dari meja-meja kursi sekolah. Hal ini dilakukan karena orang tuanya hanya memperkenankannya menggunakan pedang dan cakram sebatas pada kurikulum sekolah. Selebihnya: TIDAK.

Melatiku

Di depan rumahku ada pohon melati
Kalau mekar cantik berseri
Kutanam di taman berjajar rapi
Melatiku kusiram setiap hari

Inilah tulisan pertama yang sangat dihapal Perempuan ini, saat kelas 4 SD dia mendapat tugas menulis puisi dari ibu gurunya. Dia hapal, karena puisi inilah satu-satunya guratan “pedang” yang diperkenankan oleh orang tuanya dituliskan pada “cakram” nya. Alasannya adalah, karena puisi ini masuk kurikulum sekolah, sementara nasib tulisan-tulisan vandalisme lainnya di bangku-bangku sekolah harus pupus dan luruh tidak dapat dia hapal, bahkan terdokumentasikan pun tampaknya sangat jauh dari angan-angan.

2) Hura-Hura Remaja, Ruang Sunyi “Perempuan ini”

Lika-liku remaja rupanya tak akan mudah dipisahkan dengan romansa “cinta-cinta” an yang mereka alami. Apa yang dilakukan Perempuan ini saat remaja? Punya kekasih? Iya, benar punya, dia memang punya beberapa lelaki yang secara sembunyi ataupun nyata-nyata mengasihi ataupun dikasihinya. Namun bukan itu yang ingin dia ceritakan, ia ingin bercerita tentang kekaguman dan proses “cinta-cinta”annya terhadap objek bahasan lain. Yaitu, tulisan yang terdiri dari elemen kata-kata yang terangkai sebagai alat ekspresi kegundahan dan kegelisahan.

Sebuah grup musikalisasi puisi, Sanggar Matahari DEAVIES namanya. Dari sana ia diberi kesempatan lagi-lagi untuk mengawinkan senjatanya. Pedang dan cakram, kemudian ia menyadari ia mempunyai senjata lain, senjata itu adalah cambuk. Perempuan ini mengetahui suatu harmonisasi “ajaib” dari perpaduan unsur pena, buku dan musik dari sebuah grup musikalisasi puisi ini. Berawal dari sebuah konser Sanggar Matahari, sebuah grup yang beranggotakan 4 bersaudara dari Medan sebagai tim inti, di Surabaya saat perempuan ini masih duduk di kelas 1 SMA, aura keingintahuannya pun terpompa. Ia datang, ia lihat, kemudian ia jatuh cinta padanya. Puisi yang dielaborasi dengan instrument musikal. Musikalisasi puisi.

Perempuan itu kini menyadari senjata barunya berupa cambuk. Cambuk yang sudah bertahun-tahun ia akrabi, ternyata bisa dikawinkan dengan senjata-senjatanya sebelumnya “pedang dan cakram” . Cambuk itu adalah musik. Orang tuanya sudah akrab dengan musik, dan akhirnya perempuan ini menganggap ia mempunyai celah untuk masuk lebih intim ke dunia seni, layaknya ia telah lebih dahulu intim dengan pedang dan cakramnya. Ia mempunyai pemikiran bahwa musik bisa menjadi jembatan, agar orang-orang yang belum membuka diri untuk memahami kesukaannnya sedikit demi sedikit membuka diri atas kesukaannya itu. Ia hanya teringat filosofi Sunan Kalijaga, menyebarkan kebaikan lewat ajaran-ajaran yang telah dimengerti sebelumnya oleh si penerimanya, dalam hal ini wayang, yang ia analogikan sebagai musik.

Tulisan-tulisan yang ia buat, kemudian tidak akan pernah menghilangkan kesan lagu. Yah, ia selalu membayangkan kalau tulisan-tulisan tersebut bila dibacakan akan mempunyai kesan mendayu seperti lagu. Lirih saja, karena ia tak suka dengan orang-orang yang berteriak-teriak seperti orang tuanya di hadapannya, atau seperti orang-orang yang membelenggunya dengan aturan. Ia ingin melepaskan itu semua, mencari kedamaian dengan irama tulisan yang tidak terlalu berat dipikirkan, dicerna, dan mengobati kekesalan, sembari menyuarakan kegundahan.

Sayang, akibat pemusnahan beberapa catatan hariannya, ia tidak menemukan secuil tulisan pun yang ia catatkan, ia juga tidak mengingatnya. Yang jelas ia hanya mengingat satu buah sajak Taufiq Ismail (Karangan Bunga) dan satu buah sajak Chairil Anwar (Tuhanku) yang ia rekam di atas kaset model lama, yang kemudian ia yakini sebagai salah satu tampilan musikalisasi puisi. Dari sana, dengan berbekal nilai raport, esei sederhana, dan rekaman kaset itu, ia mendaftar ke salah satu institut seni lumayan besar di jantung ibukota. Apa yang terjadi?

3) Memahami, Merencanakan Masa Depan dan Proses Pendewasaan Diri "Perempuan Ini"

Meski ia berhasil memegang kunci untuk masuk institut itu, lagi-lagi sebuah aral di depan menghadang. Ia gagal menempuh studi di sana, dan kemudian memilih jalur alternatif pendidikannya saat ini. Ia ingin lebih memahami manusia-manusia yang tidak mengerti keinginannya. Meski begitu, catatan ini bisa menjadi catatan tersendiri bagaimana rumitnya melumpuhkan stigma ketidaksetujuan orang-orang tersebut terhadap dirinya.

Ia kemudian mengenal jalur maya, kekuatan internet dan situs-situs penulis pemula semacam kemudian.com, membuatnya mengenal seseorang sahabat yang mengenalkan dia tentang apa dan bagaimana menulis. Bersama mereka menjalin persahabatan, sekaligus kompetitor dan mitra kreatif satu sama lain. Mereka kemudian bersama-sama menggagas suatu kelompok jaringan menulis sendiri, belajar dari penulis-penulis yang telah terlebih dahulu terjun ke dunia ini. Mereka ingin belajar, dan menulis itu saja. Satu persatu rekan mereka bergabung dan mereka membentuk keluarga. Perempuan ini dan rekan-rekan mereka menyebut keluarga mereka adalah ESOK, sebuah Komunitas sastra yang tidak hanya individual menjaga keberlangsungan proses kreatif namun juga ingin terjun dalam gerakan nyata seperti amuba, menulari individu dan komunitas lain untuk membagi efek keceriaan keluarga mereka ke masyarakat kecil mereka lewat aktivitas baca diri, menulis diri dan sebagainya.

Perempuan ini hanya ingin mencurahkan apa yang ada di otak, apabila ada yang menganggap ini sebagai tulisan yang memiliki suatu nilai "sastra". Ia hanya menganggap semua orang berhak mengapresiasi satu dengan yang lain. Cinta, semangat, idealisme, keterbukaan dan curahan hati adalah balutan yang benar-benar ia kedepankan. Tak ada yang ingin ia tutupi. Karena ia percaya, ketika kita membuka diri kepada orang lain, maka orang lain akan mau berbagi dengan kita. Bukan kah itu suatu harmoni yang indah?

Sangat jarang ia temui, orang yang mengeluh "aku nggak ngerti maksud tulisanmu". Meski ia pun tak menafikkan ada beberapa orang yang merasa seperti itu.

Maka, kemudian inilah Saya, sang "Perempuan ini".

Dengan melihat uraian proses memaknai hidup saya, maka saya mulai paham dengan tulisan saya. Sekali lagi, belum lah pantas proses kreatif yang sekedar curahan hati saya diapresiasi sedemikian takjubnya seperti tebaran-tebaran mutiara contohnya, di jalur facebook atau kemudian.com misalnya, dengan tataran teoretis sastrawi. Saya menulis dengan hati dan rasa. Teori sastrawi saya masih berusaha belajar. Ya tentu saja, ini dikarenakan saya sendiri bukan berasal dari disiplin sastra.

Apakah kemudian saya menjadi penulis, penyair atau tetekbengeknya?

Wah... itu nanti dulu. Saya pernah paham ada satu kutipan Arswendo Atmowiloto yang termaktub dalam film Djenar Maesa Ayu, Mereka Bilang Saya Monyet. "Kamu boleh berhenti atau tak menjadi Penulis, tapi jangan sampai kamu berhenti menulis". Maka, inilah yang saya lakukan, saya hanya orang yang BUKAN Penulis, Penyair atau tetek bengeknya yang hanya sekedar menulis mencurahkan kata hati, pikiran dan perasaan saya. Saya bukan tidak memperbolehkan orang menganggap saya, menautkan saya dengan label-label tersebut. Tapi dengan keterbatasan saya, saya merasa saya masih belum layak dengan pelabelan tersebut.

Terimakasih, atas segala apresiasinya....


Nisa Ayu Amalia
Sby, 120909

*"Pengarang itu korps avant garde, bukan menghibur... tugasnya melawan kejahatan dalam tulisan-tulisannya”

oleh Pramoedya Ananta Toer

Tidak ada komentar:

Posting Komentar